HMI

Sunday, March 18, 2012

Contoh proposal Muamalah. By Dosen pengampu: Aji Damanuri, M.E.I


PENDAYAGUNAAN ZAKAT
 Studi Implikasi Hukum Zakat Terhadap Pemberdayaan Mustahik
di Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah (LAZISMU) Ponorogo

A      LATAR BELAKANG MASALAH
Zakat, Infak, dan Shadaqoh (ZIS) adalah salah satu ibadah yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis dan menentukan, baik dari sisi ubuddiyah maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan ekonomi umat. Selain sebagai ibadah mahdhah, ZIS juga memiliki keterkaitan sangat signifikat dengan dimensi sosial keummatan. Karena secara substansif, pendayagunaan ZIS secara material dan fungsional memiliki partisipasi aktif dalam memecahkan permasalahan keummatan seperti peningkatan kualitas hidup kaum dhuafa, peningkatan sumber daya manusia dan pemberdayaan ekonomi. Sehingga dalam hitungan makro, ZIS dapat di maksimalkan sebagai institusi distribusi pendapatan di dalam konsepsi ekonomi Islam.
Sebagai doktrin ibadah mahdhah zakat bersifat wajib, juga mengandung doktrin sosial ekonomi Islam yang merupakan antitesa terhadap sistem ekonomi riba. Al-Quran secara tegas memerintahkan penegakkan zakat dan menjauh pengamalan-pengamalan riba. Pada surat Al-Baqarah ayat 274, Allah menegaskan keutamaan infaq (zakat)[1]. Pada ayat 275, diterangkan tentang penegasan Allah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba[2], pada ayat 276, Allah menyatakan akan melenyapkan berkahnya riba dan menyuburkan berkahnya shadaqah (zakat)[3]. Pada ayat 277 dan surat al-baqarah Allah menegaskan bahwa zakat adalah solusi bagi ummat Islam (yang beriman) dan kehidupan yang penuh ketakutan dan kesusahan.[4] Kemiskinan merupakan bahaya besar bagi umat manusia dan tidak sedikit umat yang jatuh peradabannya hanya karena kefakiran. Karena itu seperti sabda Nabi yang menyatakan bahwa kefakiran itu mendekati pada kekufuran.[5]
Namun demikian, tujuan zakat tidak sekedar menyantuni orang miskin secara konsumtif, tetapi mempunyai tujuan yang lebih permanen yaitu mengentaskan kemiskinan.[6] Salah satu cara menanggulangi kemiskinan adalah dukungan orang yang mampu untuk mengeluarkan harta kekayaan mereka berupa dana zakat kepada mereka yang kekurangan. Zakat merupakan salah satu nilai instrumental yang strategis dan sangat berpengaruh pada tingkah laku ekonomi manusia dan masyarakat serta pembangunan ekonomi umumnya.
Sistem zakat sebagai suatu sistem ekonomi dalam Islam telah dibuktikan oleh Nabi Muhammad SAW dan pemerintahan Khulafa al-Rasidun. Selain ketentuan ibadah murni, zakat juga merupakan kewajiban sosial berbentuk tolong menolong antara orang kaya dan orang miskin, untuk menciptakan keseimbangan sosial (equilibrium social) dan keseimbangan ekonomi (equilibrium of economique). Sekaligus ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan, menciptakan keamanan dan ketentraman.[7]
Secara konseptual kelima rukun Islam: syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji, memiliki hubungan yang terkait erat antara satu sama lainnya.[8] Kelimanya terakumulasikan pada dua hubungan yaitu: secara vertikal dengan Allah SWT (habl min Allah), dan secara horizontal dengan sesama manusia (habl min al-nas/mu’amalah maa al-nas). Kedua hubungan tersebut dilambangkan dengan ketentuan ibadah shalat dan zakat. Shalat tiang agama, zakat tiang sosial kemasyarakatan yang apabila tidak dilaksanakan, meruntuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat, baik sosial maupun ekonomi, karena penolakan pembayaran zakat oleh golongan kaya akan mengakibatkan terjadinya kekacauan (chaos) dan gejolak sosial yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan suatu masyarakat, bangsa dan negara. Muzakki akan merasakan kenikmatan tersendiri dalam menunaikan kewajiban membayar zakat. Secara tidak langsung muzakki telah berupaya melakukan tindakan preventive terjadinya berbagai kerawanan dan penyakit sosial. Umumnya yang dilatarbelakangi oleh kemiskinan dan sistem sosial yang penuh dengan ketidak-adilan dalam kehidupan sosial. Pelaksanaan pengamalan zakat, harus ditangani oleh Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah (LAZIS) yang memiliki sistem manajemen fungsional dan profesional. Hal tersebut ditujukan untuk mencapai hasil yang optimal dan efektif.[9]
Tercapainya kesejahteraan sosial ummat dan terwujudnya pemerataan serta keadilan, prioritas penyalur dana zakat harus diarahkan kepada usaha-usaha kecil yang dikelola oleh mayoritas ummat, dalam hal ini adalah bidang pertanian, perdagangan, kelautan dan industri yang menghasilkan makanan pokok atau pangan, menyediakan bahan mentah untuk keperluan industri, manufaktur, industri kerajinan ukir-ukiran, kayu anyaman, untuk bahan bangunan dan lainnya.[10]
Dalam istilah ekonomi, zakat merupakan tindakan pemindahan kekayaan dari golongan kaya kepada golongan tidak punya. Transfer kekayaan berarti transfer sumber-sumber ekonomi. Tindakan ini tentu saja akan mengakibatkan perubahan tertentu yang bersifat ekonomisumpamanya, saja, seseorang yang menerima zakat bisa mempergunakannya untuk berkonsumsi atau berproduksi. Dengan demikian, zakat walaupun pada dasarnya merupakan ibadah kepada Allah, bisa mempunyai arti ekonomi.[11]
Kelemahan utama orang miskin serta usaha kecil yang dikerjakannya sesungguhnya tidak semata-mata pada kurangnya permodalan, tetapi lebih pada sikap mental dan kesiapan manajemen usaha. untuk itu, zakat usaha produktif pada tahap awal harus mampu mendidik mustahiq sehingga benar-benar siap untuk berubah. Karena tidak mungkin kemiskinan itu dapat berubah kecuali dimulai dari perubahan mental si miskin itu sendir. Inilah yang disebut peran pemberdayaan. Zakat yang dapat dihimpun dalam jangka panjang harus dapat memberdayakan mustahiq sampai pada tataran pengembangan usaha. program-program yang bersifat konsumtif hanya berfungsi sebagai stimulan atau rangsangan dan berjangka pendek. Sedangkan program pemberdayaan harus diutamakan. Makna pemberdayaan dalam arti yang luas ialah memandirikan mitra, sehingga mitra dalam hal ini mustahiq tidak selamanya tergantung kepada amil.[12]
Karenanya, zakat bukan hanya membantu fakir, miskin, orang yang berutang dan lain sebagainya, tetapi mempunyai sasaran kemasyarakatan, karena di dalamnya ada unsur sosial, yang pada waktu bersamaan mempunyai sasaran individual, jika dilihat dari orang yang menerima zakat. Zakat, adalah satu bagian dari aturan jaminan sosial dalam Islam, di mana aturan jaminan ini tidak dikenal Barat, kecuali dalam ruang lingkup yang sempit, yaitu jaminan pekerjaan, dengan menolong kelompok orang yang lemah dan fakir.[13] Menurut Qardhawi, persoalan penting dalam masalah zakat adalah pada pengumpulan harta zakat dari para muzakki dan kemana zakat itu mesti disalurkan (muzakki dan amil).[14]
Pendistribusian zakat yang bertujuan pemerataan ekonomi dan pembangunan, perlu ditopang dengan suatu badan pengelola zakat yang modern dan profesional. Dalam hal ini Dawam Rahardjo mengusulkan pendirian bank sosial Islam, berfungsi mengelola dana suplus zakat untuk didayagunakan bagi kepentingan pemberdayaan ekonomi ummat.[15] Karena  zakat adalah salah satu instrumen penting dalam Islam sebagai upaya untuk menciptakan kesejahteran sosial perlu dibentuk institusi bank yang bebas bunga (zero interest bank) sebaga pengelola dana ummat berupa zakat dan sumber lainnya, yang ditujukan untuk membantu permodalan bagi masyarakat ekonomi lemah. Gagasan yang sama juga disampaikan oleh Hazairin. Ia menyatakan, diperlukan pendirian Bank Zakat, yang memberikan modal usaha secara cuma-cuma kepada masyarakat fakir miskin guna memberdayakan ekonomi mereka. Dana yang disimpan dalam bank zakat tersebut adalah dana zakat yang tersisa setelah dibagi kepada mustahiknya.[16]
Di Indonesia, hukum positif mengenai penerapan dan penglolaan zakat mengalami perkembangan yang baik dengan dikeluarkannya undang-undang yang berkaitan dengan zakat. Undang-undang tersebut adalah Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dengan keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 581 tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat dan Urusan Haji Nomor D/tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat serta Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Sehingga dengan adanya undang-undang tersebut diharapkan akan mendukung pemahaman dan penerapan serta pengelolaan zakat terhadap masyarakat muslim di Indonesia.
Undang-undang ini memberikan legitimasi pada lembaga pengelolaan zakat untuk mengelola secara konsumtif dan produktif. Perkembangan metode distribusi zakat yang saat ini mengalami perkembangan pesat baik menjadi sebuah objek kajian ilmiah dan penerapannya di berbagai Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah (LAZIS) yaitu metode pendayagunaan secara produktif. Zakat produktif adalah zakat yang diberikan kepada mustahik sebagai modal untuk menjalankan suatu kegiatan ekonomi dalam bentuk usaha, yaitu dengan untuk mengembangkan tingkat ekonomi dan potensi produktifitas mustahik.
Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat adalah mengoptimalkan pendistribusian zakat yang bertujuan pemerataan ekonomi dan pembangunan, yang ditopang dengan suatu badan Pengelola Zakat yang modern dan profesional. Zakat dengan segala posisi, fungsi dan potensi yang terkandung di dalamnya dapat berperan secara positif-progressif dalam gerakan ekonomi kerakyatan. Didalamnya terdapat unsur kesejahteraan bersama, seperti yang tercantum dalam pasal 33, 27 ayat (2) dan pasal 34 UUD 1945. Bahkan secara lebih luas, dana zakat dapat didistribusikan bagi sektor permodalan tanpa bunga dalam berbagai usaha-usaha ekonomi produktif. Dana zakat harus diarahkan kepada usaha-usaha kecil yang dikelola oleh mayoritas ummat, dalam hal ini adalah bidang pertanian, dan mata pencaharian mayoritas ummat Islam dan rakyat Indonesia. Dengan demikian zakat akan dapat memberikan pengaruh dalam pengembangan perekonomian masyarakat.
Transformasi pengelolaan ZIS dari manajemen tradisional menuju profesional harus ditopang dengan prinsip-prinsip manajemen modern dan good governance seperti membudayakan asas transparansi (transparence), responsibilitas (responsibility), akuntablitritas (accountability), kewajaran dan kesepadanan (fairness) dan kemandirian (independency). Skala prioritas yang tepat sasaran dan distribusi yang efisien dan efektif dari dana-dana ZIS merupakan keunggulana kompetetitif (competitive advantage) dari Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah (LAZIS) yang ada di samping kejujuran, komitmen dan konsistensi dari para amilin dan pihak-pihak yang berwenang.
Berdasar pada uraian di atas, menarik kiranya mengkaji lebih dalam bagaimana para pengelola Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah (LAZIS) memaknai undang-undang tentang zakat tersebut, dan bagaimana pola pendayagunaan zakat pada lembaga-lembaga pengelola zakat ini.

B.      TELAAH PUSTAKA.

Pembahasan mengenai zakat telah banyak dibahas oleh banyak ulama dan pakar zakat di Indonesia. Termasuk konsep distribusi dana zakat secara produktif, Didin Hafifudhin dalam bukunya “Zakat dalam Perekonomian Modern”, menjelaskan bahwa zakat bisa menjadi salah satu solusi pemerataan ekonomi dan pemberdayaan mustad’afin, dengan menyalurkannya pada usaha-usaha produktif. Selain itu buku ini juga menjelaskan ragam penghasilan dari berbagai usaha atau penghasilan pada perekonomian modern yang wajib dikeluarkan zakatnya.[17]
Dukungan upaya pendayagunaan zakat produktif juga disampaikan oleh M. Ali Hasan dalam bukunya, “Zakat dan Infak salah satu solusi mengatasi problema social Indonesia”. Buku ini menyajikan semua aspek yang berkait dengan zakat, mulai definisi, jenis, hingga cara menghitung zakat, dilengkapi dengan contoh pendayagunaan zakat di masa modern.[18]
Sementara itu Abdul Ghofur Anshori, memberikan gambaran yang cukup luas aspek yuridis tentang zakat sebagai pengurang pajak. Buku ini dilengkapi dengan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, KMA No. 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan UU No. 38 Tahun 1999, keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D/291Tahun 2000 tentang pedoman Teknis Pengelolaan Zakat dan UU No. 17 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas UU No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Menurutnya sebuah solusi yang menarik, bila zakat yang merupakan kewajiban agama bisa diberlakukan sebagai kewajiban bernegara sekaligus, sebagai pajak.[19]
Sedangkan Ulin Ulfa dalam penelitiannya membahas tentang pendayagunaan zakat secara produktif dalam perspektif hukum Islam, menyatakan bahwa pemberdayaan zakat produktif dapat dibenarkan, sepanjang memperhatikan kebutuhan pokok bagi masing-masing mustahiq dalam bentuk konsumtif yang bersifat mendesak untuk segera diatasi. Selain itu pendayagunaan dan pengelolaan zakat untuk usaha produktif dibolehkan oleh hukum Islam selama harta zakat tersebut cukup banyak.[20]
Alfiya Nur Hasanah dalam penelitiannya “Hubungan Zakat dengan Tingkat Kemiskinan, pada BAZ Propinsi DIY Tahun 1939-2000, menjelaskan bahwa pendayagunaan zakat yang efektif dapat menurunkan tingkat kemiskinan dengan tidak menggunakannya sebagai pemenuhan konsumtif semata tetapi juga dapat dipergunakan untuk usaha-usaha pemenuhan kebutuhan produktif, bantuan pendidikan dan usaha-usaha untuk menciptakan lapangan kerja serta mengurangi pengangguran.[21]
 Dari beberapa tulisan di atas, penulis belum menemukan penelitian yang secara khusus membahas tentang implikasi positifikasi hukum zakat terhadap pemberdayaan mustahik, apalagi yang dilakukan di Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah (LAZIS) Muhammadiyah Ponorogo, pembahasan-pembahasan di atas pada umumnya hanya membahas tentang pentingnya pendayagunaan zakat dan pengaruh zakat terhadap pemberdayaan umat, dan belum pada tahap verifikasi terhadap para mustahik yang sedang diberdayakan, oleh karena itu penelitian ini mengembangkan apa yang telah ditulis para peneliti di atas.

C.     RUMUSAN MASALAH

Berpijak pada uraian di atas maka secara rinci masalah penelitian ini diuraikan dalam pertanyaan sebagai berikut :
1.            Bagaimana pemahaman pengelola LAZIS Muhammadiyah tentang konsep-konsep pemberdayaan zakat dan Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat?
2.            Bagaimana pola pendayagunaan zakat di LAZIS Muhammadiyah Ponorogo?
3.            Bagaimana perkembangan dan keadaan mustahik dibawah binaan LAZIS Muhammadiyah?
4.            Bagaimana implikasi pemahaman pengelola LAZIS Muhammadiyah tentang konsep-konsep pemberdayaan zakat dan Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat terhadap pendayagunaan zakat bagi para mustahik.
D.     TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1.            Untuk mengetahui pemahaman pengelola LAZIS Muhammadiyah tentang konsep-konsep pemberdayaan zakat dan Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
2.            Untuk mendiskripsikan pola pendayagunaan zakat di LAZIS Muhammadiyah Ponorogo.
3.            Untuk mendiskripsikan perkembangan dan keadaan mustahik dibawah binaan LAZIS Muhammadiyah.
4.            Untuk menjelaskan bagaimana implikasi pemahaman pengelola LAZIS Muhammadiyah tentang konsep-konsep pemberdayaan zakat dan Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat terhadap pendayagunaan zakat bagi para mustahik.

Adapun manfaat penelitian ini, secara akademis diharapkan memberi sumbangan pemikiran positif bagi pengembangan fiqh zakat, infaq dan shadaqah kearah pengelolaan zakat secara produktif. Juga bermanfaat bagi lembaga pengelola zakat untuk lebih meningkatkan perannya dalam pengumpulan dan pendayagunaan zakat, sehingga mampu merubah mustahik menjadi muzzaki .

E.      KERANGKA KONSEPTUAL.

Sebagaimana penjelasan pada perumusan masalah, bahwa penelitian ini memfokuskan pada implikasi positifikasi zakat terhadap pemberdayaan mustahik. Oleh karena itu perlu dijelaskan dulu konsep-konsep pemberdayaan secara umum dan lebih khusus konsep pemberdayaan zakat menurut hukum positif dan juga normatif.

Pemberdayaan dilahirkan dari bahasa Inggris, yakni empowerment, yang mempunyai makna dasar ‘pemberdayaan’, di mana ‘daya’ bermakna kekuatan (power). Bryant dan White menyatakan pemberdayaan sebagai upaya menumbuhkan kekuasaan dan wewenang yang lebih besar kepada masyarakat miskin, dengan cara menciptakan mekanisme dari dalam (build-in) untuk meluruskan keputusan-keputusan alokasi yang adil, yakni dengan menjadikan rakyat mempunyai pengaruh. Sementara Freire,  menyatakan empowerment bukan sekedar memberikan kesempatan rakyat menggunakan sumber daya dan biaya pembangunan saja, tetapi juga upaya untuk mendorong mencari cara menciptakan kebebasan dari struktur yang opresif.[22]
Sementara itu, Prijono dan Pranarka, menyatakan bahwa pemberdayakan mempunyai dua makna, yakni mengembangkan, memandirikan, menswadayakan dan memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan. Makna lainnya adalah melindungi, membela dan berpihak kepada yang lemah, untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan terjadinya eksploitasi terhadap yang lemah.Dalam pandangan Pearse dan Stiefel dinyatakan bahwa pemberdayaan mengandung dua kecenderungan, yakni primer dan sekunder. Kecenderungan primer berarti proses pemberdayaan menekankan proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Sedangkan kecenderungan sekunder melihat pemberdayaan sebagai proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihannya.[23]
Konsep pemberdayaan merupakan hasil dari proses interaksi di tingkat ideologis dan praksis. Pada tingkat ideologis, pemberdayaan merupakan hasil interaksi antara konsep top-down dan bottom-up, antara growth strategy dan people centered strategy. Sedangkan di tingkat praksis, proses interaksi terjadi melalui pertarungan antar ruang otonomi. Maka, konsep pemberdayaan mencakup pengertian pembangunan masyarakat (community development) dan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community based development). Community development adalah suatu proses yang menyangkut usaha masyarakat dengan pihak lain (di luar sistem sosialnya) untuk menjadikan sistem masyarakat sebagai suatu pola dan tatanan kehidupan yang lebih baik, mengembangkan dan meningkatkan kemandirian dan kepedulian masyarakat dalam memahami dan mengatasi masalah dalam kehidupannya, mengembangkan fasilitas dan teknologi sebagai langkah meningkatkan daya inisiatif, pelayanan masyarakat dan sebagainya. Secara filosofis, community development mengandung makna ‘membantu masyarakat agar bisa menolong diri sendiri’, yang berarti bahwa substansi utama dalam aktivitas pembangunan masyarakat adalah masyarakat itu sendiri.[24]
Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat sebenarnya adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi dan politik yang merangkum berbagai nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people centered, participatory, empowering, and a sustaniable”.Dalam konsep pemberdayaan, masyarakat dipandang sebagai subyek yang dapat melakukan perubahan, oleh karena diperlukan pendekatan yang lebih dikenal dengan singkatan ACTORS. [25]
1)            Authority atau wewenang pemberdayaan dilakukan dengan memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk melakukan perubahan yang mengarah pada perbaikan kualitas dan taraf hidup mereka.
2)            Confidence and compentence atau rasa percaya diri dan kemampuan diri, pemberdayaan dapat diawali dengan menimbulkan dan memupuk rasa percaya diri serta melihat kemampuan bahwa masyarakat sendiri dapat melakukan perubahan.
3)            Truth atau keyakinan, untuk dapat berdaya, masyarakat atau seseorang harus yakin bahwa dirinya memiliki potensi untuk dikembangkan.
4)            Opportunity atau kesempatan, yakni memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memilih segala sesuatu yang mereka inginkan sehingga dapat mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang mereka miliki.
5)            Responsibility atau tanggung jawab, maksudnya yaitu perlu ditekankan adanya rasa tanggung jawab pada masyarakat terhadap perubahan yang dilakukan.
6)            Support atau dukungan, adanya dukungan dari berbagai pihak agar proses perubahan dan pemberdayaan dapat menjadikan masyarakat ‘lebih baik’.
Terkait dengan pendayagunaan zakat, dalam Undang-Undang No. 38 tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, Bab I, Ketentuan Umum Pasal 1, disebutkan bahwa Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat. Sedangkan pada Bab V disebutkan bahwa hasil pengumpulan zakat didayagunakan untuk mustahiq sesuai dengan ketentuan agama, pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahiq dan dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif.
Zakat memiliki peranan yang sangat strategis dalam upaya pengentasan kemiskinan atau pembangunan ekonomi. Berbeda dengan sumber keuangan untuk pembangunan yang lain, zakat tidak memiliki dampak balik apapun kecuali ridha dan mengharap pahala dari Allah semata. Namun demikian, bukan berarti mekanisme zakat tidak ada sistem kontrolnya. Nilai strategis zakat dapat dilihat melalui: Pertama, zakat merupakan panggilan agama. Ia merupakan cerminan dari keimanan seseorang. Kedua, sumber keuangan zakat tidak akan pernah berhenti. Artinya orang yang membayar zakat, tidak akan pernah habis dan yang telah membayar setiap tahun atau periode waktu yang lain akan terus membayar.ketiga, zakat secara empirik dapat menghapus kesenjangan sosial dan sebaliknya dapat menciptakan redistribusi aset dan pemerataan pembangunan.[26]
Menurut Kementerian Agama RI (dulu Depag), pendistribusian zakat terbagi menjadi empat kategori:[27]
a)            Konsumtif tradisional. Zakat dibagikan kepada mustahik secara langsung untuk kebutuhan sehari-hari. Pola ini merupakan program jangka pendek dalam mengatasi permasalahan umat.
b)            Konsumtif kreatif. Zakat yang diwujudkan dalam bentuk barang konsumtif dan digunakan untuk membantu orang miskin dalam mengatasi permasalahan sosial dan ekonomi yang dihadapinya. Bantuan tersebut antara lain alat-alat sekolah dan beasiswa untuk para pelajar, bantuan alat pertanian, dan lain sebagainya.
c)            Produktif konvensional. Zakat diberikan dalam bentuk barang-barang produktif, dimana dengan menggunakan barang-barang tersebut, para mustahik dapat menciptakan usaha sendiri, seperti pemberian hewan ternak, alat pertukangan, mesin jahid dan lain sebagainya.
d)           Produktif kreatif. Zakat yang diwujudkan dalam bentuk pemberian modal bergulir, baik untuk permodalan proyek sosial  maupun sebagai modal usaha untuk membantu atau bagi pengembangan usaha para pedagang atau pengusaha kecil.
Sementara itu, dalam Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 581 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat Bab V Persyaratan Prosedure Pendayagunaan Hasil Pengumpulan Zakat Pasal 28  disebutkan bahwa:
1.   Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat untuk musthahiq dilakukan berdasarkan persyaratan sebagai berikut:
a)      Hasil pendataan dan penelitian kebenaran musthahiq delapan asnaf yaitu fakir, miskin,amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah, dan ibnussabil.
b)      Mendahulukan orang-orang yang paling tidak berdaya memenuhi kebutuhan dasar secara ekonomi dan sangat memerlukan bantuan
c)      Mendahulukan musthahiq dalam wilayahnya masing-masing
2.   Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat untuk usaha yang produktif dilakukan berdasarkan persyaratan sebagai berikut:
a)      Apabila pendayagunaan zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terpenuhi dan ternyata masih terdapat kelebihan
b)      Terdapat usaha-usaha nyata yang berpeluang menguntungkan
c)      Mendapat persetujuan tertulis dari dewan pertimbangan
Sedangkan prosedur pendayagunaan hasil pengumpulan zakat untuk usaha produktif sebagaimana terdapat pada Pasal 29 ditetapkan sebagai berikut:
a.      Melakukan studi kelayakan;
b.      Menetapkan jenis usaha produktif;
c.       Melakukan bimbingan dan penyuluhan;
d.      Melakukan pemantauan, pengendalian dan pengawasan;
e.       Mengadakan evaluasi; dan
f.        Membuat pelaporan
Berdasarkan pada pasal-pasal di atas zakat dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk modal bagi usaha kecil. Dengan demikian, zakat memiliki pengaruh yang sangat besar dalam berbagai hal kehidupan umat, di antaranya adalah pengaruh dalam bidang ekonomi. Pengaruh zakat yang lainnya adalah terjadinya pembagian pendapatan secara adil kepada masyarakat Islam. Dengan kata lain, pengelolaan zakat secara profesional dan produktif dapat ikut membantu perekonomian masyarakat lemah dan membantu pemerintah dalam meningkatkan perekonomian negara, yaitu terberdayanya ekonomi umat sesuai dengan misi-misi yang diembannya.[28]
Sedangkan dalam penelitian ini pengertian “pendayagunaan” dimaknai sebagai segala usaha untuk membebaskan masyarakat miskin dari belenggu kemiskinan yang menghasilkan suatu situasi di mana kesempatan-kesempatan ekonomis tertutup bagi mereka, karena kemiskinan yang terjadi tidak bersifat alamiah semata, melainkan hasil berbagai macam faktor yang menyangkut kekuasaan dan kebijakan, maka upaya pemberdayaan juga harus melibatkan kedua faktor tersebut. Salah satu indikator dari keberdayaan masyarakat adalah kemampuan dan kebebasan untuk membuat pilihan yang terbaik dalam menentukan atau memperbaiki kehidupannya, yang secara ekonomis minimal dapat mengubah mustahik menjadi muzzaki.

F.    METODE PENELITIAN.

1).  Jenis dan Pendekatan.
Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), sedangkan pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penggunaan pendekatan ini dimaksudkan untuk memahami perilaku manusia dari kerangka acuan si pelaku sendiri, yakni bagaimana si pelaku (pengelola Lazismu Ponorogo) memandang dan menafsirkan kegiatan dari segi pendiriannya yang biasa disebut “persepsi emic[29]. Pemanfaatan pendekatan ini merujuk beberapa pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, sumber data dan data dalam penelitian ini berlatar alamiah (natural). Artinya bahwa yang diteliti adalah fenomena yang alami dengan mempertimbangkan kontek dimana fenomena tersebut terjadi.[30]
Kedua, instrumen human. Dalam penelitian ini, peneliti sendiri merupakan instrumen kunci dalam pengambilan data di Lazismu Ponorogo, sehingga dengan empati peneliti dapat menyesuaikan diri dengan realitas, mampu menangkap makna, yang tidak dapat dikerjakan oleh instrumen non-human.
Ketiga, analisis data induktif. Sifat naturalistik lebih menyukai analisis induktif daripada deduktif, karena dengan cara tersebut konteknya akan lebih mudah dideskripsikan.[31] Aplikasi praktis dalam penelitian ini adalah dengan melakukan inferensiasi terhadap data lapangan yang berserakan menjadi sebuah kesimpulan tentative pada setiap bab pembahasan.
Keempat, penelitian ini lebih memfokuskan terhadap proses dan makna proses dari suatu hasil, oleh karena itu inkuiri fenomenologis dari fokus penelitian ini dimulai dari pengamatan untuk menangkap pengertian pengelola Lazismu tentang pendayagunaan. Dalam hal ini peneliti berusaha menjelaskan apa yang dipahami dan digambarkan pengelola LAZIS Muhammadiyah Ponorogo tentang konsep pendayagunaan zakat dan implementasinya. Dengan demikian diharapkan terangkat gambaran mengenai aktualitas, realitas, dan persepsi sasaran penelitian tanpa tercemar oleh pengukuran formal. Karena itu keterlibatan peneliti sangat diusahakan, namun tanpa intervensi terhadap variabel-variabel proses yang sedang berlangsung, sehingga dapat mengetahui realitas dengan apa adanya. Setelah itu, barulah peneliti melakukan serangkaian wawancara mendalam untuk memperoleh interpretasi dan pemahaman tentang apa yang ada dibalik pendayagunaan zakat yang mereka lakukan.[32]
2).  Ruang lingkup penelitian.
a.      Lokasi Penelitian.
Penelitian ini mengambil tempat di LAZIS Muhammadiyah Ponorogo, dengan pertimbangan bahwa lembaga ini merupakan lembaga pengelola zakat baru yang cukup progresif di Ponorogo dan telah melakukan penyaluran pembiayaan produktif bagi para mustahik zakat. Karena lokasinya berada di dalam kota, secara teknis memudahkan peneliti untuk melaksanakan penelitian secara evektif dan efisien.
b.      Informan.
Informan utama (key informant) dalam penelitian ini adalah kepala LAZIS Muhammadiyah Ponorogo. Dari informan utama ini, kemudian akan dicari informasi selengkapnya dengan cara “snowball sampling” yang dilakukan secara serial atau berurutan,[33] sebagai berikut: dimulai dari kepala LAZIS dilanjutkan dengan struktur dibawahnya dan seterusnya yang berkait dengan proses pengelolaan zakat.
3).  Tehnik pengumpulan data.
Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan secara simultaneous cross sectional atau member check (dalam arti berbagai kegiatan kelakuan subjek penelitian tidak diambil pada subjek yang sama namun pada subjek yang berbeda), kemudian diinterpretasi berdasarkan kemampuan peneliti melihat kecenderungan,  pola, arah, interaksi faktor-faktor serta hal lainnya yang  memacu atau menghambat perubahan untuk merumuskan hubungan baru berdasarkan unsur-unsur yang ada.[34] Adapun langkah-langkah operasionalnya adalah sebagai berikut:
a).  Observasi.
Dalam tiap pengamatan, peneliti sebagai observer selalu mengaitkan dua hal, yaitu informasi (apa yang terjadi) dan kontek (hal-hal yang berkait disekitarnya). Dalam observasi ini peneliti tidak hanya mencatat suatu kejadian atau peristiwa, akan tetapi juga segala sesuatu atau sebanyak mungkin hal-hal yang diduga ada kaitannya. Makin banyak informasi yang dikumpulkan makin baik, oleh sebab itu pengamatan harus seluas mungkin dan catatan observasi harus selengkap mungkin.[35] Teknik ini dilakukan dengan cara melakukan pengamatan langsung mengenai proses pendayagunaan zakat di LAZIS Muhammadiyah Ponorogo.
b)   Wawancara.
Sebagai tindaklanjut dari pengamatan, peneliti juga melakukan serangkaian wawancara dengan pengelola LAZIS Muhammadiyah Ponorogo. Peneliti mengadakan wawancara dengan tokoh lembaga atau para fungsionaris khususnya pihak manajemen pendayagunaan zakat produktif yang dianggap berkompeten dan representatif dengan masalah yang dibahas untuk memperoleh informasi mengenai pendayagunaan zakat produktif. Adapun model wawancaranya dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan yang diajukan kepada pegawai LAZIS Muhammadiyah dan para mustahik serta beberapa orang yang terkait dengan lembaga zakat tersebut. Wawancara yang peneliti lakukan adalah:
a.    Dalam bentuk percakapan informal, yang mengandung unsur spontanitas, kesantaian, tanpa pola atau arah yang ditentukan sebelumnya.
b.    Menggunakan lembaran berisi garis besar pokok-pokok topik, atau masalah yang dijadikan pegangan dalam pembicaraan, yaitu tentang konsep zakat, pendayagunaan zakat, bentuk-bentuk pendayagunaan zakat dan segala aspek yang berkait dengannya.
c). Dokumentasi.
Data dalam penelitian naturalistik kebanyakan diperoleh dari sumber manusia melalui observasi dan wawancara, namun data dari sumber non manusia seperti dokumen, foto dan bahan statistik perlu mendapatkan perhatian selayaknya. Adapun data yang diperlukan adalah:
a.            Tentang manajemen baik secara administratif dan praktis tentang LAZIS Muhammadiyah dengan sumber data para pegawainya.
b.            Tentang sejarah pendirian, visi dan misi, program kerja, job diskripsi dan data lainnya tentang LAZIS Muhammadiyah melalui melalui buku-buku laporan administratif.
c.             Pemahaman pengelola LAZIS Muhammadiyah tentang konsep-konsep pemberdayaan zakat dan Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
d.            Tentang perkembangan dan keadaan mustahik dibawah binaan LAZIS Muhammadiyah, dengan sumber informasi para mustahik itu sendiri dan informasi dari para pegawai LAZIS Muhammadiyah.
Data yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi, dikategorisasi sesuai dengan masalah penelitian. Berdasarkan data yang diperoleh dikembangkan penajaman data melalui pencarian data selanjutnya. Dalam penelitian ini, data tidak dianggap sebagai error reality yang dipermasalahkan oleh teori yang ada sebelumnya, tapi dianggap sebagai another reality. Dalam hal ini peneliti mencatat data apa adanya, tanpa intervensi dari teori yang terbaca atau paradigma peneliti yang selama ini dimiliki[36]. Di samping itu, untuk mengecek keabsahan data dilakukan dengan triangulasi, yakni pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu[37], dan diakhiri dengan menarik kesimpulan sebagai hasil temuan lapangan.
4).   Teknik pengolahan dan analisis data.
Agar lebih proporsional dan representatif, data yang diperoleh kemudian diolah dengan metode sebagai berikut:
                          1.  Editing, yakni memeriksa kembali semua data yang diperoleh terutama dari segi kelengkapan, keterbacaan, kejelasan makna, keselarasan antara satu dengan yang lain, relevansi dan keseragaman satuan/kelompok kata.
                          2.  Pengorganisasian data, yakni menyusun dan men sistematisasikan data-data yang diperoleh dalam kerangka paparan yang sudah direncanakan sebelumnya, kerangka tersebut dibuat berdasarkan dan relevan dengan sistematika pertanyaan-pertanyaan dalam perumusan masalah.
                          3.  Analisis data, yaitu proses menyusun data agar dapat ditafsirkan. Menyusun data berarti menggolongkannya dalam pola, thema atau katagori. Tafsiran atau interpretasi adalah memberikan makna kepada analisis, menjelaskan pola atau katagori, mencari hubungan antara berbagai konsep. Kesimpulan yang pada awalnya masih sangat tentatif, kabur, dan diragukan, maka dengan bertambahnya data, kesimpulan itu menjadi lebih grounded. Proses ini dilakukan mulai dari pengumpulan data dengan terus menerus dilakukan verifikasi sehingga kesimpulan akhir didapat setelah seluruh data yang diinginkan didapatkan.
Analisis telah dimulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan dan berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian.[38] Analisis disini diartikan sebagai penguraian hasil penelitian melalui kaca mata teori-teori yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan cara demikian diharapkan muncul suatu pemikiran yang samasekali baru atau mungkin menguatkan yang sudah ada, berkenaan dengan pendayagunaan zakat.
Adapun metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data induktif. Analisis data induktif menurut paradigma naturalistik adalah analisis atas data spesifik dari lapangan menjadi unit-unit dilanjutkan dengan katagorisasi.[39]
Secara rinci  langkah-langkah analisis data dilakukan dengan mengikuti cara yang disarankan oleh Miles dan Huberman[40] yaitu : Reduksi data, display data, mengambil kesimpulan dan verifikasi.
Reduksi data ialah proses penyederhanaan data, memilih hal-hal yang pokok yang sesuai dengan dengan fokus penelitian, data dipilih sesuai dengan konsep pendayagunaan zakat dan aplikasinya, sehingga dapat dianalisis dengan mudah.
Display data ialah suatu proses pengorganisasian data sehingga mudah untuk dianalisis dan disimpulkan. Proses ini akan dilakukan dengan cara membuat matrik, diagram, ataupun grafik.
Mengambil kesimpulan dan verifikasi merupakan langkah ketiga dalam proses analisis. Langkah ini dimulai dengan mencari pola, tema, hubungan, hal-hal yang sering timbul dan sebagainya yang mengarah pada konsep pendayagunaan zakat dan implementasinya di LAZIS Muhammadiyah.



[1] Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, Maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Qs, al Baqarah: 274.
[2] Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Qs, al Baqarah: 275.
[3] Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Qs, al Baqarah: 275.
[4] M. Dawan Rahardjo, Perspektf Deklarasi Makkah Menuju Ekonomi Islam, (Bandung: Mizan, 989),141.
[5] Abdurrachman Qadir. Zakat (Dalam Dimensi Mahdah dan Sosial), ed. 1, cet. 2. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), 24.
[6] Ahmad M. Saefuddin. Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam, ed.1 cet.1. (Jakarta: CV Rajawali, 1987), 71.
[7] Rachmat Djatmika, Infaq Shadaqah, Zakat dan Wakaf Sebagai Komponen Dalam Pembangunan, (Surabaya, al-Ikhlas. t.t.), 11.
[8] Mahmud Afif al-Banna, Nizam al Zakah Wa al-Haraib Fi Mamlakah al Arabiyah, al Su’udiyah, (Saudia Arabia: Dar ai -Ulum, 1983), 13.
[9] Yusuf Qardhawy, Musykilah al-Faqr wa Kaifa Alajaha al-Islam (Mesir: Maktabah Wahbah, 1975), 85.
[10] Sritua Arief, Pelaksanaan Sistem Ekonomi Kerakyatan”, dalam, Republika, edisi September 1999, 6.
[11] Muhammad dan Ridwan Mas’ud. Zakat dan Kemiskinan Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat. (Yogyakarta: UII Press, 2005), 42 – 43.
[12] Muhammad Ridwan. Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), cet 2. (Yogyakarta: UII Press, 2005), 216 – 217.
[13] Rahmat Djatnika, Infak, Shadaqah-Zakat dan Wakaf sebagai Komponen dalam Pembangunan, (Surabaya: Al Ikhlas, t.th), 11.
[14] Yusuf Al Qardhawi, Fiqh Zakat, jilid 1, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983), 542-545.
[15] Dawan Raharjo, Perspektif Deklarasi Mekkah; Menuju Ekonomi Islam, (Bandung Mizan, 1989), 201.
[16] Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta: Bina Aksara, 1981),144.
[17] Didin Hafifuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani Press, 2002).
[18] M. Ali Hasan, Zakat dan Infak salah satu solusi mengatasi problema social Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006).
[19] Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Pemberdayaan Zakat, upaya sinergis wajib zakat dan pajak di Indonesia, (Yogyakarta: Pilar Media, 2006).
[20] Ulin Ulfa. “Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif (Kajian Terhadap Pasal 16Ayat 2 UU no. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat)”, Skripsi S1, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2005.
[21] Alfiya Nur Hasanah. “Hubungan Zakat terhadap Tingkat Kemiskinan pada BAZ Propinsi DIY Tahun 1939-2003”,Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2005.
[22] http://www.pemberdayaan.com/pemberdayaan/konsep-pemberdayaan-membantu-masyarakat-agar-bisa-menolong-diri-sendiri.html#more-82.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] http://www.pemberdayaan.com/etcetera/energi-sosial-budaya-dan-lokalitas-titik-fokus-konsep-pemberdayaan.html#more-86
[26] Muhammad Ridwan. Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), cet 2. (Yogyakarta: UII Press, 2005), 189-190.
[27]Manajemen Pengelolaan Zakat”, Departemen agama RI Direktorat Jendral bimbingan masyarakat islam dan penyelenggaraan haji, dan direktorat pengembangan zakat dan wakaf tahun 2005.
[28] Muhammad dan Ridwan Mas’ud, Zakat dan Kemiskinan, Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat (Yogyakarta: UII Press, 2005), 127.
[29] S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif (Bandung : Transito, 1996), 32. Lihat pula Cathrine Hakim, Research Design (London : Routledge, 1997), 26.
[30] Nasution, Metode, 18.
[31] H. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif  (Yogyakarta: PT Bayu Indra Grafika, 1996),109.
[32] Moeloeng, Metodologi, 9.
[33] S. Nasution, Metode, 23.
[34]Muhadjir, Metodologi , 42-43 dan Nasution, Metode, 126.
[35] S. Nasution, Metode, 58.
[36]Nasution, Metode, 9-10.
[37]Lexi J.Moleong, Methodologi, 178.
[38] S. Nasution. Metode, 138.
[39] Noeng Muhadjir, Metodologi, 123.
[40]Matthew B. Miles dan A.Michael Huberman, Qualitative Data Analysis, (London : Sage Publications, 1984), 21.

No comments: