PENDAYAGUNAAN
ZAKAT
Studi Implikasi
Hukum Zakat Terhadap Pemberdayaan Mustahik
di Lembaga Amil Zakat Infaq dan
Shadaqah Muhammadiyah (LAZISMU) Ponorogo
Zakat, Infak, dan Shadaqoh (ZIS) adalah salah satu ibadah yang memiliki posisi
yang sangat penting, strategis dan menentukan, baik dari sisi ubuddiyah maupun
dari sisi pembangunan kesejahteraan ekonomi umat. Selain sebagai ibadah
mahdhah, ZIS juga memiliki keterkaitan sangat signifikat dengan dimensi sosial
keummatan. Karena secara substansif, pendayagunaan ZIS secara material dan
fungsional memiliki partisipasi aktif dalam memecahkan permasalahan keummatan
seperti peningkatan kualitas hidup kaum dhuafa, peningkatan sumber daya manusia
dan pemberdayaan ekonomi. Sehingga dalam hitungan makro, ZIS dapat di
maksimalkan sebagai institusi distribusi pendapatan di dalam konsepsi ekonomi
Islam.
Sebagai doktrin ibadah mahdhah zakat bersifat wajib, juga mengandung
doktrin sosial ekonomi Islam yang merupakan antitesa terhadap sistem ekonomi
riba. Al-Quran secara tegas memerintahkan penegakkan zakat dan menjauh
pengamalan-pengamalan riba. Pada surat Al-Baqarah ayat 274, Allah
menegaskan keutamaan infaq (zakat)[1].
Pada ayat 275, diterangkan tentang penegasan Allah menghalalkan perdagangan dan
mengharamkan riba[2],
pada ayat 276, Allah menyatakan akan melenyapkan berkahnya riba dan menyuburkan
berkahnya shadaqah (zakat)[3].
Pada ayat 277 dan surat al-baqarah Allah menegaskan bahwa zakat adalah solusi
bagi ummat Islam (yang beriman) dan kehidupan yang penuh ketakutan dan
kesusahan.[4]
Kemiskinan merupakan bahaya besar
bagi umat manusia dan tidak sedikit umat yang jatuh peradabannya hanya karena
kefakiran. Karena itu seperti sabda Nabi yang menyatakan bahwa kefakiran itu
mendekati pada kekufuran.[5]
Namun demikian, tujuan zakat tidak sekedar
menyantuni orang miskin secara konsumtif, tetapi mempunyai tujuan yang lebih
permanen yaitu mengentaskan kemiskinan.[6]
Salah satu cara menanggulangi kemiskinan adalah dukungan orang yang mampu untuk
mengeluarkan harta kekayaan mereka berupa dana zakat kepada mereka yang
kekurangan. Zakat merupakan salah satu nilai instrumental yang strategis dan sangat
berpengaruh pada tingkah laku ekonomi manusia dan masyarakat serta pembangunan
ekonomi umumnya.
Sistem
zakat sebagai suatu sistem ekonomi dalam Islam telah dibuktikan oleh Nabi
Muhammad SAW dan pemerintahan Khulafa’
al-Rasidun. Selain ketentuan ibadah murni, zakat juga merupakan kewajiban
sosial berbentuk tolong menolong antara orang kaya dan orang miskin, untuk
menciptakan keseimbangan sosial (equilibrium social) dan keseimbangan ekonomi (equilibrium
of economique). Sekaligus ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan,
menciptakan keamanan dan ketentraman.[7]
Secara
konseptual kelima rukun Islam: syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji,
memiliki hubungan yang terkait erat antara satu sama lainnya.[8]
Kelimanya terakumulasikan pada dua hubungan yaitu: secara vertikal dengan Allah
SWT (habl min Allah), dan secara horizontal dengan sesama manusia (habl
min al-nas/mu’amalah ma’a al-nas). Kedua
hubungan tersebut dilambangkan dengan ketentuan ibadah shalat dan zakat. Shalat
tiang agama, zakat tiang sosial kemasyarakatan yang apabila tidak dilaksanakan,
meruntuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat, baik sosial maupun ekonomi,
karena penolakan pembayaran zakat oleh golongan kaya akan mengakibatkan
terjadinya kekacauan (chaos) dan gejolak sosial yang menghancurkan
sendi-sendi kehidupan suatu masyarakat, bangsa dan negara. Muzakki akan
merasakan kenikmatan tersendiri dalam menunaikan kewajiban membayar zakat.
Secara tidak langsung muzakki telah berupaya melakukan tindakan preventive
terjadinya berbagai kerawanan dan penyakit sosial. Umumnya yang
dilatarbelakangi oleh kemiskinan dan sistem sosial yang penuh dengan
ketidak-adilan dalam kehidupan sosial. Pelaksanaan pengamalan zakat, harus
ditangani oleh Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah (LAZIS) yang memiliki
sistem manajemen fungsional dan profesional. Hal tersebut ditujukan untuk
mencapai hasil yang optimal dan efektif.[9]
Tercapainya
kesejahteraan sosial ummat dan terwujudnya pemerataan serta keadilan, prioritas
penyalur dana zakat harus diarahkan kepada usaha-usaha kecil yang dikelola oleh
mayoritas ummat, dalam hal ini adalah bidang pertanian, perdagangan, kelautan
dan industri yang menghasilkan makanan pokok atau pangan, menyediakan bahan
mentah untuk keperluan industri, manufaktur, industri kerajinan ukir-ukiran,
kayu anyaman, untuk bahan bangunan dan lainnya.[10]
Dalam istilah ekonomi,
zakat merupakan tindakan pemindahan kekayaan dari golongan kaya kepada golongan
tidak punya. Transfer kekayaan berarti transfer sumber-sumber ekonomi. Tindakan
ini tentu saja akan mengakibatkan perubahan tertentu yang bersifat ekonomisumpamanya,
saja, seseorang yang menerima zakat bisa
mempergunakannya untuk berkonsumsi atau berproduksi. Dengan demikian, zakat
walaupun pada dasarnya merupakan ibadah kepada Allah, bisa mempunyai arti ekonomi.[11]
Kelemahan utama orang
miskin serta usaha kecil yang dikerjakannya sesungguhnya tidak semata-mata pada
kurangnya permodalan, tetapi lebih pada sikap mental dan kesiapan manajemen
usaha. untuk itu, zakat usaha produktif pada tahap awal harus mampu mendidik
mustahiq sehingga benar-benar siap untuk berubah. Karena tidak mungkin
kemiskinan itu dapat berubah kecuali dimulai dari perubahan mental si miskin
itu sendir. Inilah yang disebut peran pemberdayaan. Zakat yang dapat dihimpun
dalam jangka panjang harus dapat memberdayakan mustahiq sampai pada tataran
pengembangan usaha. program-program yang bersifat konsumtif hanya berfungsi
sebagai stimulan atau rangsangan dan berjangka pendek. Sedangkan program pemberdayaan
harus diutamakan. Makna pemberdayaan dalam arti yang luas ialah memandirikan
mitra, sehingga mitra dalam hal ini mustahiq tidak selamanya tergantung kepada
amil.[12]
Karenanya, zakat bukan hanya membantu fakir, miskin, orang yang
berutang dan lain sebagainya, tetapi mempunyai sasaran kemasyarakatan, karena
di dalamnya ada unsur sosial, yang pada waktu bersamaan mempunyai sasaran
individual, jika dilihat dari orang yang menerima zakat. Zakat, adalah satu
bagian dari aturan jaminan sosial dalam Islam, di mana aturan jaminan ini tidak
dikenal Barat, kecuali dalam ruang lingkup yang sempit, yaitu jaminan
pekerjaan, dengan menolong kelompok orang yang lemah dan fakir.[13] Menurut Qardhawi, persoalan penting dalam masalah zakat adalah pada
pengumpulan harta zakat dari para muzakki dan kemana zakat itu mesti disalurkan
(muzakki dan amil).[14]
Pendistribusian
zakat yang bertujuan pemerataan ekonomi dan pembangunan, perlu ditopang dengan
suatu badan pengelola zakat yang modern dan profesional. Dalam hal ini Dawam
Rahardjo mengusulkan pendirian bank sosial Islam, berfungsi mengelola dana
suplus zakat untuk didayagunakan bagi kepentingan pemberdayaan ekonomi ummat.[15]
Karena zakat adalah salah satu instrumen
penting dalam Islam sebagai upaya untuk menciptakan kesejahteran sosial perlu
dibentuk institusi bank yang bebas bunga (zero interest bank) sebaga
pengelola dana ummat berupa zakat dan sumber lainnya, yang ditujukan untuk
membantu permodalan bagi masyarakat ekonomi lemah. Gagasan yang sama juga
disampaikan oleh Hazairin. Ia menyatakan, diperlukan pendirian Bank Zakat, yang
memberikan modal usaha secara cuma-cuma kepada masyarakat fakir miskin guna
memberdayakan ekonomi mereka. Dana yang disimpan dalam bank zakat tersebut
adalah dana zakat yang tersisa setelah dibagi kepada mustahiknya.[16]
Di Indonesia, hukum positif mengenai penerapan dan
penglolaan zakat mengalami perkembangan yang baik dengan dikeluarkannya
undang-undang yang berkaitan dengan zakat. Undang-undang tersebut adalah
Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dengan keputusan
Menteri Agama (KMA) Nomor 581 tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat dan Urusan Haji Nomor D/tahun 2000 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Zakat serta Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan
Ketiga Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Sehingga
dengan adanya undang-undang tersebut diharapkan akan mendukung pemahaman dan
penerapan serta pengelolaan zakat terhadap masyarakat muslim di Indonesia.
Undang-undang ini memberikan legitimasi pada lembaga pengelolaan
zakat untuk mengelola secara konsumtif dan produktif. Perkembangan metode distribusi
zakat yang saat ini mengalami perkembangan pesat baik menjadi sebuah objek
kajian ilmiah dan penerapannya di berbagai Lembaga Amil Zakat Infaq dan
Shadaqah (LAZIS) yaitu metode pendayagunaan secara produktif. Zakat produktif
adalah zakat yang diberikan kepada mustahik sebagai modal untuk menjalankan
suatu kegiatan ekonomi dalam bentuk usaha, yaitu dengan untuk mengembangkan
tingkat ekonomi dan potensi produktifitas mustahik.
Undang-undang
No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat adalah mengoptimalkan
pendistribusian zakat yang bertujuan pemerataan ekonomi dan pembangunan, yang
ditopang dengan suatu badan Pengelola Zakat yang modern dan profesional. Zakat
dengan segala posisi, fungsi dan potensi yang terkandung di dalamnya dapat
berperan secara positif-progressif dalam gerakan ekonomi kerakyatan. Didalamnya
terdapat unsur kesejahteraan bersama, seperti yang tercantum dalam pasal 33, 27
ayat (2) dan pasal 34 UUD 1945. Bahkan secara lebih luas, dana zakat dapat
didistribusikan bagi sektor permodalan tanpa bunga dalam berbagai usaha-usaha
ekonomi produktif. Dana zakat harus diarahkan kepada usaha-usaha kecil yang
dikelola oleh mayoritas ummat, dalam hal ini adalah bidang pertanian, dan mata
pencaharian mayoritas ummat Islam dan rakyat Indonesia. Dengan demikian zakat
akan dapat memberikan pengaruh dalam pengembangan perekonomian masyarakat.
Transformasi pengelolaan ZIS dari manajemen tradisional menuju
profesional harus ditopang dengan prinsip-prinsip manajemen modern dan good
governance seperti membudayakan asas transparansi (transparence),
responsibilitas (responsibility), akuntablitritas (accountability),
kewajaran dan kesepadanan (fairness) dan kemandirian (independency).
Skala prioritas yang tepat sasaran dan distribusi yang efisien dan efektif dari
dana-dana ZIS merupakan keunggulana kompetetitif (competitive advantage)
dari Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah (LAZIS) yang ada di samping
kejujuran, komitmen dan konsistensi dari para amilin dan pihak-pihak yang
berwenang.
Berdasar
pada uraian di atas, menarik kiranya mengkaji lebih dalam bagaimana para
pengelola Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah (LAZIS) memaknai undang-undang
tentang zakat tersebut, dan bagaimana pola pendayagunaan zakat pada
lembaga-lembaga pengelola zakat ini.
B. TELAAH PUSTAKA.
Pembahasan mengenai zakat telah banyak dibahas oleh banyak
ulama dan pakar zakat di Indonesia. Termasuk konsep distribusi dana zakat
secara produktif, Didin Hafifudhin dalam bukunya “Zakat dalam Perekonomian
Modern”, menjelaskan bahwa zakat bisa menjadi salah satu solusi pemerataan
ekonomi dan pemberdayaan mustad’afin, dengan menyalurkannya pada usaha-usaha
produktif. Selain itu buku ini juga menjelaskan ragam penghasilan dari berbagai
usaha atau penghasilan pada perekonomian modern yang wajib dikeluarkan
zakatnya.[17]
Dukungan upaya pendayagunaan zakat produktif juga
disampaikan oleh M. Ali Hasan dalam bukunya, “Zakat dan Infak salah satu solusi
mengatasi problema social Indonesia”. Buku ini menyajikan semua aspek yang
berkait dengan zakat, mulai definisi, jenis, hingga cara menghitung zakat,
dilengkapi dengan contoh pendayagunaan zakat di masa modern.[18]
Sementara itu Abdul Ghofur Anshori, memberikan gambaran yang
cukup luas aspek yuridis tentang zakat sebagai pengurang pajak. Buku ini dilengkapi
dengan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, KMA No. 581 Tahun 1999
tentang Pelaksanaan UU No. 38 Tahun 1999, keputusan Dirjen Bimas Islam dan
Urusan Haji No. D/291Tahun 2000 tentang pedoman Teknis Pengelolaan Zakat dan UU
No. 17 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas UU No. 7 tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan. Menurutnya sebuah solusi yang menarik, bila zakat yang merupakan
kewajiban agama bisa diberlakukan sebagai kewajiban bernegara sekaligus,
sebagai pajak.[19]
Sedangkan Ulin Ulfa dalam penelitiannya
membahas tentang pendayagunaan zakat secara produktif dalam perspektif hukum
Islam, menyatakan bahwa pemberdayaan zakat produktif dapat dibenarkan,
sepanjang memperhatikan kebutuhan pokok bagi masing-masing mustahiq dalam
bentuk konsumtif yang bersifat mendesak untuk segera diatasi. Selain itu
pendayagunaan dan pengelolaan zakat untuk usaha produktif dibolehkan oleh hukum
Islam selama harta zakat tersebut cukup banyak.[20]
Alfiya Nur Hasanah dalam
penelitiannya “Hubungan Zakat dengan Tingkat Kemiskinan, pada BAZ Propinsi
DIY Tahun 1939-2000, menjelaskan bahwa pendayagunaan zakat yang efektif dapat
menurunkan tingkat kemiskinan dengan tidak menggunakannya sebagai pemenuhan
konsumtif semata tetapi juga dapat dipergunakan untuk usaha-usaha pemenuhan
kebutuhan produktif, bantuan pendidikan dan usaha-usaha untuk menciptakan
lapangan kerja serta mengurangi pengangguran.[21]
Dari beberapa tulisan di
atas, penulis belum menemukan penelitian yang secara khusus membahas tentang implikasi positifikasi hukum zakat
terhadap pemberdayaan mustahik, apalagi yang dilakukan di Lembaga Amil Zakat
Infaq dan Shadaqah (LAZIS) Muhammadiyah Ponorogo, pembahasan-pembahasan di atas
pada umumnya hanya
membahas tentang pentingnya pendayagunaan zakat dan pengaruh zakat terhadap
pemberdayaan umat, dan belum pada tahap verifikasi terhadap para mustahik yang
sedang diberdayakan, oleh karena itu penelitian ini mengembangkan apa yang
telah ditulis para peneliti di atas.
C. RUMUSAN MASALAH
Berpijak
pada uraian di atas maka secara rinci masalah penelitian ini diuraikan dalam
pertanyaan sebagai berikut :
1.
Bagaimana pemahaman pengelola LAZIS Muhammadiyah tentang
konsep-konsep pemberdayaan zakat dan Undang-undang No. 38 tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat?
2.
Bagaimana pola pendayagunaan
zakat di LAZIS Muhammadiyah Ponorogo?
3.
Bagaimana perkembangan dan keadaan mustahik dibawah binaan LAZIS
Muhammadiyah?
4.
Bagaimana implikasi pemahaman pengelola LAZIS Muhammadiyah
tentang konsep-konsep pemberdayaan zakat dan Undang-undang No.
38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat terhadap pendayagunaan zakat bagi para
mustahik.
D. TUJUAN
DAN MANFAAT PENELITIAN
Sesuai
dengan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Untuk mengetahui pemahaman pengelola LAZIS Muhammadiyah
tentang konsep-konsep pemberdayaan zakat dan Undang-undang No.
38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
2.
Untuk
mendiskripsikan pola pendayagunaan zakat di LAZIS Muhammadiyah Ponorogo.
3.
Untuk mendiskripsikan perkembangan dan keadaan mustahik dibawah
binaan LAZIS Muhammadiyah.
4.
Untuk menjelaskan bagaimana implikasi pemahaman pengelola
LAZIS Muhammadiyah tentang konsep-konsep pemberdayaan zakat dan Undang-undang
No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat terhadap pendayagunaan zakat bagi
para mustahik.
Adapun manfaat
penelitian ini, secara akademis diharapkan memberi sumbangan pemikiran positif
bagi pengembangan fiqh zakat, infaq dan shadaqah kearah pengelolaan zakat
secara produktif. Juga bermanfaat bagi lembaga pengelola zakat untuk lebih
meningkatkan perannya dalam pengumpulan dan pendayagunaan zakat, sehingga mampu
merubah mustahik menjadi muzzaki .
E. KERANGKA KONSEPTUAL.
Sebagaimana penjelasan pada perumusan masalah, bahwa
penelitian ini memfokuskan pada implikasi positifikasi zakat terhadap
pemberdayaan mustahik. Oleh karena itu perlu dijelaskan dulu konsep-konsep
pemberdayaan secara umum dan lebih khusus konsep pemberdayaan zakat menurut
hukum positif dan juga normatif.
Pemberdayaan
dilahirkan dari bahasa Inggris, yakni empowerment, yang mempunyai makna
dasar ‘pemberdayaan’, di mana ‘daya’ bermakna kekuatan (power). Bryant dan White
menyatakan pemberdayaan sebagai upaya menumbuhkan kekuasaan dan wewenang yang
lebih besar kepada masyarakat miskin, dengan cara menciptakan mekanisme dari
dalam (build-in) untuk meluruskan keputusan-keputusan alokasi yang adil,
yakni dengan menjadikan rakyat mempunyai pengaruh. Sementara Freire, menyatakan empowerment bukan sekedar
memberikan kesempatan rakyat menggunakan sumber daya dan biaya pembangunan
saja, tetapi juga upaya untuk mendorong mencari cara menciptakan kebebasan dari
struktur yang opresif.[22]
Sementara itu, Prijono
dan Pranarka, menyatakan bahwa pemberdayakan mempunyai dua makna, yakni
mengembangkan, memandirikan, menswadayakan dan memperkuat posisi tawar menawar
masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang
dan sektor kehidupan. Makna lainnya adalah melindungi, membela dan berpihak
kepada yang lemah, untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan
terjadinya eksploitasi terhadap yang lemah.Dalam pandangan Pearse dan Stiefel
dinyatakan bahwa pemberdayaan mengandung dua kecenderungan, yakni primer dan
sekunder. Kecenderungan primer berarti proses pemberdayaan menekankan proses
memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada
masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Sedangkan kecenderungan
sekunder melihat pemberdayaan sebagai proses menstimulasi, mendorong atau
memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan
apa yang menjadi pilihannya.[23]
Konsep pemberdayaan
merupakan hasil dari proses interaksi di tingkat ideologis dan praksis. Pada
tingkat ideologis, pemberdayaan merupakan hasil interaksi antara konsep top-down
dan bottom-up, antara growth strategy dan people centered
strategy. Sedangkan di tingkat praksis, proses interaksi terjadi melalui
pertarungan antar ruang otonomi. Maka, konsep pemberdayaan mencakup pengertian
pembangunan masyarakat (community
development) dan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community
based development). Community development adalah suatu proses yang
menyangkut usaha masyarakat dengan pihak lain (di luar sistem sosialnya) untuk
menjadikan sistem masyarakat sebagai suatu pola dan tatanan kehidupan yang
lebih baik, mengembangkan dan meningkatkan kemandirian dan kepedulian
masyarakat dalam memahami dan mengatasi masalah dalam kehidupannya,
mengembangkan fasilitas dan teknologi sebagai langkah meningkatkan daya
inisiatif, pelayanan masyarakat dan sebagainya. Secara filosofis, community development mengandung
makna ‘membantu masyarakat agar bisa menolong diri sendiri’, yang berarti bahwa
substansi utama dalam aktivitas pembangunan masyarakat adalah masyarakat itu
sendiri.[24]
Dengan demikian,
pemberdayaan masyarakat sebenarnya adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi dan
politik yang merangkum berbagai nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma
baru pembangunan, yakni yang bersifat “people
centered, participatory, empowering, and a sustaniable”.Dalam
konsep pemberdayaan, masyarakat dipandang sebagai subyek yang dapat melakukan
perubahan, oleh karena diperlukan pendekatan yang lebih dikenal dengan
singkatan ACTORS. [25]
1)
Authority atau
wewenang pemberdayaan dilakukan dengan memberikan kepercayaan kepada masyarakat
untuk melakukan perubahan yang mengarah pada perbaikan kualitas dan taraf hidup
mereka.
2)
Confidence and
compentence atau rasa percaya diri dan kemampuan diri,
pemberdayaan dapat diawali dengan menimbulkan dan memupuk rasa percaya diri
serta melihat kemampuan bahwa masyarakat sendiri dapat melakukan perubahan.
3)
Truth atau
keyakinan, untuk dapat berdaya, masyarakat atau seseorang harus yakin bahwa
dirinya memiliki potensi untuk dikembangkan.
4)
Opportunity atau
kesempatan, yakni memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memilih segala
sesuatu yang mereka inginkan sehingga dapat mengembangkan diri sesuai dengan
potensi yang mereka miliki.
5)
Responsibility atau
tanggung jawab, maksudnya yaitu perlu ditekankan adanya rasa tanggung jawab
pada masyarakat terhadap perubahan yang dilakukan.
6)
Support atau
dukungan, adanya dukungan dari berbagai pihak agar proses perubahan dan
pemberdayaan dapat menjadikan masyarakat ‘lebih baik’.
Terkait dengan pendayagunaan zakat, dalam Undang-Undang
No. 38 tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, Bab I, Ketentuan Umum Pasal 1,
disebutkan bahwa Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat.
Sedangkan pada Bab V disebutkan bahwa hasil pengumpulan zakat didayagunakan
untuk mustahiq sesuai dengan ketentuan agama, pendayagunaan hasil pengumpulan
zakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahiq dan dapat dimanfaatkan
untuk usaha yang produktif.
Zakat memiliki peranan yang sangat strategis
dalam upaya pengentasan kemiskinan atau pembangunan ekonomi. Berbeda dengan
sumber keuangan untuk pembangunan yang lain, zakat tidak memiliki dampak balik
apapun kecuali ridha dan mengharap pahala dari Allah semata. Namun demikian,
bukan berarti mekanisme zakat tidak ada sistem kontrolnya. Nilai strategis
zakat dapat dilihat melalui: Pertama, zakat merupakan panggilan agama.
Ia merupakan cerminan dari keimanan seseorang. Kedua, sumber keuangan
zakat tidak akan pernah berhenti. Artinya orang yang membayar zakat, tidak akan
pernah habis dan yang telah membayar setiap tahun atau periode waktu yang lain
akan terus membayar.ketiga, zakat secara empirik dapat menghapus kesenjangan
sosial dan sebaliknya dapat menciptakan redistribusi aset dan pemerataan
pembangunan.[26]
Menurut Kementerian Agama RI (dulu Depag),
pendistribusian zakat terbagi menjadi empat kategori:[27]
a)
Konsumtif tradisional. Zakat dibagikan kepada mustahik secara langsung
untuk kebutuhan sehari-hari. Pola ini merupakan program jangka pendek dalam
mengatasi permasalahan umat.
b)
Konsumtif kreatif. Zakat yang diwujudkan dalam bentuk barang konsumtif dan
digunakan untuk membantu orang miskin dalam mengatasi permasalahan sosial dan
ekonomi yang dihadapinya. Bantuan tersebut antara lain alat-alat sekolah dan
beasiswa untuk para pelajar, bantuan alat pertanian, dan lain sebagainya.
c)
Produktif konvensional. Zakat diberikan dalam bentuk barang-barang
produktif, dimana dengan menggunakan barang-barang tersebut, para mustahik
dapat menciptakan usaha sendiri, seperti pemberian hewan ternak, alat
pertukangan, mesin jahid dan lain sebagainya.
d)
Produktif kreatif. Zakat yang diwujudkan dalam bentuk pemberian modal
bergulir, baik untuk permodalan proyek sosial
maupun sebagai modal usaha untuk membantu atau bagi pengembangan usaha
para pedagang atau pengusaha kecil.
Sementara itu, dalam Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor
581 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang
Pengelolaan Zakat Bab V Persyaratan Prosedure Pendayagunaan Hasil Pengumpulan
Zakat Pasal 28 disebutkan bahwa:
1. Pendayagunaan
hasil pengumpulan zakat untuk musthahiq dilakukan berdasarkan persyaratan
sebagai berikut:
a) Hasil pendataan dan penelitian kebenaran
musthahiq delapan asnaf yaitu fakir, miskin,amil, muallaf, riqab, gharim,
sabilillah, dan ibnussabil.
b) Mendahulukan orang-orang yang paling tidak
berdaya memenuhi kebutuhan dasar secara ekonomi dan sangat memerlukan bantuan
c) Mendahulukan musthahiq dalam wilayahnya
masing-masing
2. Pendayagunaan hasil
pengumpulan zakat untuk usaha yang produktif dilakukan berdasarkan persyaratan
sebagai berikut:
a) Apabila pendayagunaan zakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sudah terpenuhi dan ternyata masih terdapat kelebihan
b) Terdapat usaha-usaha nyata yang berpeluang
menguntungkan
c) Mendapat persetujuan tertulis dari dewan
pertimbangan
Sedangkan prosedur pendayagunaan hasil pengumpulan zakat untuk usaha
produktif sebagaimana terdapat pada Pasal 29 ditetapkan sebagai berikut:
a.
Melakukan studi kelayakan;
b.
Menetapkan jenis usaha produktif;
c.
Melakukan bimbingan dan penyuluhan;
d.
Melakukan pemantauan, pengendalian dan pengawasan;
e.
Mengadakan evaluasi; dan
f.
Membuat pelaporan
Berdasarkan
pada pasal-pasal di atas zakat dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk modal
bagi usaha kecil. Dengan demikian, zakat memiliki pengaruh yang sangat besar dalam
berbagai hal kehidupan umat, di antaranya adalah pengaruh dalam bidang ekonomi.
Pengaruh zakat yang lainnya adalah terjadinya pembagian pendapatan secara adil
kepada masyarakat Islam. Dengan kata lain, pengelolaan zakat secara profesional dan
produktif dapat ikut membantu perekonomian masyarakat lemah dan membantu
pemerintah dalam meningkatkan perekonomian negara, yaitu terberdayanya ekonomi
umat sesuai dengan misi-misi yang diembannya.[28]
Sedangkan dalam
penelitian ini pengertian “pendayagunaan” dimaknai sebagai segala usaha untuk
membebaskan masyarakat miskin dari belenggu kemiskinan yang menghasilkan suatu
situasi di mana kesempatan-kesempatan ekonomis tertutup bagi mereka, karena
kemiskinan yang terjadi tidak bersifat alamiah semata, melainkan hasil berbagai
macam faktor yang menyangkut kekuasaan dan kebijakan, maka upaya pemberdayaan
juga harus melibatkan kedua faktor tersebut. Salah satu indikator dari
keberdayaan masyarakat adalah kemampuan dan kebebasan untuk membuat pilihan
yang terbaik dalam menentukan atau memperbaiki kehidupannya, yang secara
ekonomis minimal dapat mengubah mustahik menjadi muzzaki.
F. METODE PENELITIAN.
1). Jenis dan Pendekatan.
Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field
research), sedangkan pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif. Penggunaan pendekatan ini dimaksudkan untuk memahami
perilaku manusia dari kerangka acuan si pelaku sendiri, yakni bagaimana si
pelaku (pengelola Lazismu Ponorogo) memandang dan menafsirkan kegiatan dari
segi pendiriannya yang biasa disebut “persepsi emic”[29].
Pemanfaatan pendekatan ini merujuk beberapa pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, sumber data dan
data dalam penelitian ini berlatar alamiah (natural). Artinya bahwa yang
diteliti adalah fenomena yang alami dengan mempertimbangkan kontek dimana
fenomena tersebut terjadi.[30]
Kedua, instrumen human.
Dalam penelitian ini, peneliti sendiri merupakan instrumen kunci dalam
pengambilan data di Lazismu Ponorogo, sehingga dengan empati peneliti dapat
menyesuaikan diri dengan realitas, mampu menangkap makna, yang tidak dapat
dikerjakan oleh instrumen non-human.
Ketiga, analisis data
induktif. Sifat naturalistik lebih menyukai analisis induktif daripada
deduktif, karena dengan cara tersebut konteknya akan lebih mudah
dideskripsikan.[31]
Aplikasi praktis dalam penelitian ini adalah dengan melakukan inferensiasi
terhadap data lapangan yang berserakan menjadi sebuah kesimpulan tentative pada
setiap bab pembahasan.
Keempat, penelitian ini
lebih memfokuskan terhadap proses dan makna proses dari suatu hasil, oleh
karena itu inkuiri fenomenologis dari fokus penelitian ini dimulai dari
pengamatan untuk menangkap pengertian pengelola Lazismu tentang pendayagunaan.
Dalam hal ini peneliti berusaha menjelaskan apa yang dipahami dan digambarkan
pengelola LAZIS Muhammadiyah Ponorogo tentang konsep pendayagunaan zakat dan
implementasinya. Dengan demikian diharapkan terangkat gambaran mengenai
aktualitas, realitas, dan persepsi sasaran penelitian tanpa tercemar oleh
pengukuran formal. Karena itu keterlibatan peneliti sangat diusahakan, namun
tanpa intervensi terhadap variabel-variabel proses yang sedang berlangsung, sehingga
dapat mengetahui realitas dengan apa adanya. Setelah itu, barulah peneliti
melakukan serangkaian wawancara mendalam untuk memperoleh interpretasi dan
pemahaman tentang apa yang ada dibalik pendayagunaan zakat yang mereka lakukan.[32]
2). Ruang lingkup
penelitian.
a.
Lokasi Penelitian.
Penelitian ini mengambil tempat di LAZIS Muhammadiyah
Ponorogo, dengan pertimbangan bahwa lembaga ini merupakan lembaga pengelola
zakat baru yang cukup progresif di Ponorogo dan telah melakukan penyaluran
pembiayaan produktif bagi para mustahik zakat. Karena lokasinya berada di dalam
kota, secara teknis memudahkan peneliti untuk melaksanakan penelitian secara
evektif dan efisien.
b.
Informan.
Informan
utama (key informant) dalam penelitian ini adalah kepala LAZIS
Muhammadiyah Ponorogo. Dari informan utama ini, kemudian akan dicari informasi
selengkapnya dengan cara “snowball sampling” yang dilakukan secara
serial atau berurutan,[33]
sebagai berikut: dimulai dari kepala LAZIS dilanjutkan dengan struktur
dibawahnya dan seterusnya yang berkait dengan proses pengelolaan zakat.
3). Tehnik
pengumpulan data.
Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan
secara simultaneous cross sectional atau member check (dalam arti
berbagai kegiatan kelakuan subjek penelitian tidak diambil pada subjek yang
sama namun pada subjek yang berbeda), kemudian diinterpretasi berdasarkan
kemampuan peneliti melihat kecenderungan,
pola, arah, interaksi faktor-faktor serta hal lainnya yang memacu atau menghambat perubahan untuk
merumuskan hubungan baru berdasarkan unsur-unsur yang ada.[34]
Adapun langkah-langkah operasionalnya adalah sebagai berikut:
a). Observasi.
Dalam tiap pengamatan, peneliti sebagai observer selalu
mengaitkan dua hal, yaitu informasi (apa yang terjadi) dan kontek (hal-hal yang
berkait disekitarnya). Dalam observasi ini peneliti tidak hanya mencatat suatu
kejadian atau peristiwa, akan tetapi juga segala sesuatu atau sebanyak mungkin
hal-hal yang diduga ada kaitannya. Makin banyak informasi yang dikumpulkan
makin baik, oleh sebab itu pengamatan harus seluas mungkin dan catatan
observasi harus selengkap mungkin.[35] Teknik ini dilakukan dengan cara
melakukan pengamatan langsung mengenai proses pendayagunaan zakat di LAZIS
Muhammadiyah Ponorogo.
b) Wawancara.
Sebagai tindaklanjut dari pengamatan,
peneliti juga melakukan serangkaian wawancara dengan pengelola LAZIS
Muhammadiyah Ponorogo. Peneliti
mengadakan wawancara dengan tokoh lembaga atau para fungsionaris khususnya
pihak manajemen pendayagunaan zakat produktif yang dianggap berkompeten dan
representatif dengan masalah yang dibahas untuk memperoleh informasi mengenai
pendayagunaan zakat produktif. Adapun
model wawancaranya dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan yang diajukan
kepada pegawai LAZIS Muhammadiyah dan para mustahik serta beberapa orang yang
terkait dengan lembaga zakat tersebut. Wawancara yang
peneliti lakukan adalah:
a.
Dalam bentuk
percakapan informal, yang mengandung unsur spontanitas, kesantaian, tanpa pola
atau arah yang ditentukan sebelumnya.
b.
Menggunakan
lembaran berisi garis besar pokok-pokok topik, atau masalah yang dijadikan
pegangan dalam pembicaraan, yaitu tentang konsep zakat, pendayagunaan zakat,
bentuk-bentuk pendayagunaan zakat dan segala aspek yang berkait dengannya.
c). Dokumentasi.
Data
dalam penelitian naturalistik kebanyakan diperoleh dari sumber manusia melalui
observasi dan wawancara, namun data dari sumber non manusia seperti dokumen,
foto dan bahan statistik perlu mendapatkan perhatian selayaknya. Adapun data yang diperlukan adalah:
a.
Tentang manajemen baik secara administratif dan praktis
tentang LAZIS Muhammadiyah dengan sumber data para pegawainya.
b.
Tentang sejarah pendirian, visi dan misi, program kerja, job
diskripsi dan data lainnya tentang LAZIS Muhammadiyah melalui melalui buku-buku
laporan administratif.
c.
Pemahaman pengelola LAZIS Muhammadiyah tentang konsep-konsep
pemberdayaan zakat dan Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat.
d.
Tentang perkembangan dan keadaan mustahik dibawah binaan LAZIS
Muhammadiyah, dengan sumber informasi para mustahik itu sendiri dan informasi
dari para pegawai LAZIS Muhammadiyah.
Data yang diperoleh dari hasil wawancara,
observasi dan dokumentasi, dikategorisasi sesuai dengan masalah penelitian.
Berdasarkan data yang diperoleh dikembangkan penajaman data melalui pencarian
data selanjutnya. Dalam penelitian ini, data tidak dianggap sebagai error
reality yang dipermasalahkan oleh teori yang ada sebelumnya, tapi dianggap
sebagai another reality. Dalam hal ini peneliti mencatat data apa
adanya, tanpa intervensi dari teori yang terbaca atau paradigma peneliti yang
selama ini dimiliki[36].
Di samping itu, untuk mengecek keabsahan data dilakukan dengan triangulasi,
yakni pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain diluar
data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu[37],
dan diakhiri dengan menarik kesimpulan sebagai hasil temuan lapangan.
4). Teknik pengolahan dan analisis data.
Agar
lebih proporsional dan representatif, data yang diperoleh kemudian diolah
dengan metode sebagai berikut:
1. Editing,
yakni memeriksa kembali semua data yang diperoleh terutama dari segi
kelengkapan, keterbacaan, kejelasan makna, keselarasan antara satu dengan yang
lain, relevansi dan keseragaman satuan/kelompok kata.
2. Pengorganisasian
data, yakni menyusun dan men sistematisasikan data-data yang diperoleh dalam
kerangka paparan yang sudah direncanakan sebelumnya, kerangka tersebut dibuat
berdasarkan dan relevan dengan sistematika pertanyaan-pertanyaan dalam
perumusan masalah.
3. Analisis
data, yaitu proses menyusun data agar dapat ditafsirkan. Menyusun data berarti
menggolongkannya dalam pola, thema atau katagori. Tafsiran atau interpretasi
adalah memberikan makna kepada analisis, menjelaskan pola atau katagori,
mencari hubungan antara berbagai konsep. Kesimpulan yang pada awalnya masih
sangat tentatif, kabur, dan diragukan, maka dengan bertambahnya data,
kesimpulan itu menjadi lebih grounded. Proses ini dilakukan mulai dari
pengumpulan data dengan terus menerus dilakukan verifikasi sehingga
kesimpulan akhir didapat setelah seluruh data yang diinginkan didapatkan.
Analisis
telah dimulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke
lapangan dan berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian.[38] Analisis disini
diartikan sebagai penguraian hasil penelitian melalui kaca mata teori-teori
yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan cara demikian diharapkan muncul suatu
pemikiran yang samasekali baru atau mungkin menguatkan yang sudah ada, berkenaan
dengan pendayagunaan zakat.
Adapun
metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data
induktif. Analisis data induktif menurut paradigma naturalistik adalah analisis
atas data spesifik dari lapangan menjadi unit-unit dilanjutkan dengan
katagorisasi.[39]
Secara rinci langkah-langkah analisis data dilakukan
dengan mengikuti cara yang disarankan oleh Miles dan Huberman[40]
yaitu : Reduksi data, display data, mengambil kesimpulan dan verifikasi.
Reduksi data ialah proses
penyederhanaan data, memilih hal-hal yang pokok yang sesuai dengan dengan fokus
penelitian, data dipilih sesuai dengan konsep pendayagunaan zakat dan
aplikasinya, sehingga dapat dianalisis dengan mudah.
Display data ialah suatu proses
pengorganisasian data sehingga mudah untuk dianalisis dan disimpulkan. Proses
ini akan dilakukan dengan cara membuat matrik, diagram, ataupun grafik.
Mengambil kesimpulan dan verifikasi
merupakan langkah ketiga dalam proses analisis. Langkah ini dimulai dengan
mencari pola, tema, hubungan, hal-hal yang sering timbul dan sebagainya yang
mengarah pada konsep pendayagunaan zakat dan implementasinya di LAZIS
Muhammadiyah.
[1] Orang-orang
yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan
terang-terangan, Maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Qs, al
Baqarah: 274.
[2] Orang-orang
yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Qs, al Baqarah: 275.
[3] Allah
memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Qs, al Baqarah: 275.
[4] M. Dawan
Rahardjo, Perspektf Deklarasi Makkah Menuju Ekonomi Islam, (Bandung:
Mizan, 989),141.
[5] Abdurrachman Qadir. Zakat (Dalam
Dimensi Mahdah dan Sosial), ed. 1, cet. 2. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2001), 24.
[6] Ahmad M. Saefuddin. Ekonomi dan
Masyarakat dalam Perspektif Islam, ed.1 cet.1. (Jakarta: CV Rajawali,
1987), 71.
[7] Rachmat
Djatmika, Infaq Shadaqah, Zakat dan Wakaf Sebagai Komponen Dalam Pembangunan,
(Surabaya, al-Ikhlas. t.t.), 11.
[8] Mahmud
Afif al-Banna, Nizam al Zakah Wa al-Haraib Fi Mamlakah al Arabiyah, al Su’udiyah,
(Saudia Arabia: Dar ai -Ulum, 1983), 13.
[9] Yusuf
Qardhawy, Musykilah al-Faqr wa Kaifa Alajaha al-Islam (Mesir: Maktabah
Wahbah, 1975), 85.
[10] Sritua
Arief, “Pelaksanaan Sistem Ekonomi Kerakyatan”, dalam, Republika,
edisi September 1999, 6.
[11] Muhammad
dan Ridwan Mas’ud. Zakat dan Kemiskinan Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat.
(Yogyakarta: UII Press, 2005), 42 – 43.
[12] Muhammad
Ridwan. Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), cet 2. (Yogyakarta: UII
Press, 2005), 216 – 217.
[13] Rahmat
Djatnika, Infak, Shadaqah-Zakat dan Wakaf sebagai Komponen dalam Pembangunan,
(Surabaya: Al Ikhlas, t.th), 11.
[14] Yusuf Al
Qardhawi, Fiqh Zakat, jilid 1, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983),
542-545.
[15] Dawan
Raharjo, Perspektif Deklarasi Mekkah; Menuju Ekonomi Islam, (Bandung
Mizan, 1989), 201.
[16]
Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta: Bina Aksara, 1981),144.
[17] Didin
Hafifuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani Press,
2002).
[18] M. Ali Hasan, Zakat dan Infak salah satu
solusi mengatasi problema social Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006).
[19] Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan
Pemberdayaan Zakat, upaya sinergis wajib zakat dan pajak di Indonesia,
(Yogyakarta: Pilar Media, 2006).
[20] Ulin Ulfa. “Pendayagunaan Zakat
untuk Usaha Produktif (Kajian Terhadap Pasal 16Ayat 2 UU no. 38 Tahun 1999
Tentang Pengelolaan Zakat)”, Skripsi S1, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2005.
[21] Alfiya
Nur Hasanah. “Hubungan Zakat terhadap Tingkat Kemiskinan pada BAZ Propinsi
DIY Tahun 1939-2003”,Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2005.
[22]
http://www.pemberdayaan.com/pemberdayaan/konsep-pemberdayaan-membantu-masyarakat-agar-bisa-menolong-diri-sendiri.html#more-82.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25]
http://www.pemberdayaan.com/etcetera/energi-sosial-budaya-dan-lokalitas-titik-fokus-konsep-pemberdayaan.html#more-86
[26] Muhammad
Ridwan. Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), cet 2. (Yogyakarta: UII
Press, 2005), 189-190.
[27] “Manajemen
Pengelolaan Zakat”, Departemen agama RI Direktorat Jendral bimbingan
masyarakat islam dan penyelenggaraan haji, dan direktorat pengembangan zakat
dan wakaf tahun 2005.
[28] Muhammad
dan Ridwan Mas’ud, Zakat dan Kemiskinan, Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat
(Yogyakarta: UII Press, 2005), 127.
[29] S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif
(Bandung : Transito, 1996), 32. Lihat pula Cathrine Hakim, Research Design
(London : Routledge, 1997), 26.
[30] Nasution,
Metode, 18.
[31] H. Noeng
Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: PT Bayu Indra Grafika, 1996),109.
[32]
Moeloeng, Metodologi, 9.
[33] S.
Nasution, Metode, 23.
[34]Muhadjir,
Metodologi , 42-43 dan Nasution, Metode, 126.
[35] S.
Nasution, Metode, 58.
[36]Nasution,
Metode, 9-10.
[37]Lexi
J.Moleong, Methodologi, 178.
[38] S.
Nasution. Metode, 138.
[39] Noeng
Muhadjir, Metodologi, 123.
[40]Matthew
B. Miles dan A.Michael Huberman, Qualitative Data Analysis, (London :
Sage Publications, 1984), 21.
No comments:
Post a Comment