HMI

Sunday, March 18, 2012

Hadits Ahkam


RIBA DAN SALAM
Riba
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ (مسلم)
Artinya:
“Dari Jabir r.a beliau berkata: Rasulullah saw. mengutuk pemakan riba, wakilnya, dan penulisnya, serta dua orang saksinya. Dan beliau mengatakan mereka itu sama-sama dikutuk.” (HR. Muslim)

Maksudnya, Rasulullah saw. memohon do’a kepada Allah agar orang-orang tersebut dijauhkan dari rahmat Allah. Hadits tersebut menjadi dalil yang menunjukkan dosa orang-orang tersebut dan pengharaman sesuatu yang mereka lakukan. Dikhususkan ‘makan’ dalam hadits tersebut, karena itulah yang paling umum pemanfaatannya; selain untuk makan, dosanya sama saja dengan untuk makan itu. Yang dimaksudkan mu’kiluhu itu ialah orang yang memberikan riba, karena sesungguhnya tidak akan terjadi riba itu kecuali dari dia. Oleh karena itu, dia termasuk dalam dosa; sedang dosa penulis dan saksi itu adalah karena bantuan mereka atas perbuatan terlarang itu. Dosanya itu ialah apabila keduanya sengaja dan mengetahui riba itu.[1]
Para ulama’ sepakat bahwa riba adalah haram dinegara Islam secara mutlak. Baik antara muslim dengan muslim, muslim dengan kafir dzimmi, muslim dengan kafir harbi.[2]


Salam
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى قَالَ عَمْرٌو حَدَّثَنَا وَقَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ كَثِيرٍ عَنْ أَبِي الْمِنْهَالِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ (مسلم)
Artinya:
“Dari Ibnu Abbas r.a beliau berkata: Nabi saw, tiba di Madinah pada masa mereka biasa meminjam buah-buahan setahun dan dua tahun, lalu beliau bersabda: barang siapa yang meminjam/mengutang buah-buahan, maka hendaklah dia mengutangnya dengan penakaran tertentu, dan dengan penimbangan tertentu, hingga batas waktu tertentu.” (HR. Muslim)
“As Salafu” sama dengan “As Salamu” baik wazannya maupun artinya. Ada yang mengatakan “As Salam” itu adalah bahasa orang Iraq dan “Salaf” itu adalah bahasa orang Hijaz.[3]
Pengertian sebenarnya kata “Salam atau Salaf” itu menurut syara’ (Islam) ialah jual beli dengan menerangkan sifat-sifat (cirri-cirinya) dalam tanggungan penjual dengan ganti (harga) yang diberikan (dibayar) kontan. Cara jual beli semacam itu disyari’atkan, kecuali menurut Ibnul Musyayyab. Mereka (ulama) sepakat bahwa disyaratkan dalam jual salam itu sesuatu yang disyaratkan dalam jual beli biasa dan wajib penyerahan harga pada masa aqad jual beli itu. Hanya saja Imam Malik membolehkan penundaan pembayaran harganya sehari atau dua hari; dan harus penetapan berdasarkan dua ketentuan yang dijelaskan dalam hadits tersebut, (yaitu penentuan takar dan waktu pembayaran tertentu).[4]
Dengan kata lain jual beli salam adalah menjual sesuatu yang tidak dilihat zatnya, hanya ditentukan dengan sifatnya dimana barang tersebut menjadi tanggungan si penjual. Salam merupakan jual beli utang dari pihak penjual, dan kontan/tunai dari pihak pembeli karena uangnya telah dibayarkan sewaktu akad.
Jika barangnya terdiri dari sesuatu yang tidak dapat ditakar dan tidak dapat ditimbang, maka menurut kata penyusun kitab “Fathul Bari”, harus padanya terdiri dari jumlah tertentu. Pendapat itu diriwayat oleh Ibnul Qathan dan beliau mengakuinya sebagai ijma’ ulama. Kata Mushannif (penysusunnya) : atau dengan hasta/ukuran tertentu, karena jumlah dan ukuran hasta itu sama saja sebagai ukuran seperti halnya penimbangan dan penakaran bagi sesuatu yang diserahkan dengan takar seperti gantang Hijaz, Qafiz (takar) Iraq, dan Ardab (takar besar) Mesir.
Jika diungkapkan secara mutlak, maka beralih kepada alat yang paling umum dipergunakan di daerah tempat terjadinya akad (transaksi) jual beli salam itu. Mereka sepakat bahwa harus diketahui sifat/cirri-ciri barang yang akan diserahkan itu dengan sifat atau cirri-ciri yang membedakannya dengan barang yang lain. Dan itu tidak bertentangan dengan penjelasan dalam hadits itu. Mereka biasa mengamalkan cara demikian itu.[5]
Menurut zhohir hadits tersebut bahwa penundaan penyerahan barang itu menjadi suatu syarat dalam jual salam itu. Jika diserahkan langsung pada waktu akad itu, maka jual belinya tidak sah, atau jika waktu penyerahannya tidak diketahui batas waktunya, maka jual belinya tidak sah.[6]
Pemahaman: Dari kedua hadits tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa walaupun sama-sama membahas tentang utang piutang tapi berbeda konteksnya. Kalau riba mengutangkan dengan mengharap kembalian lebih tetapi jual beli salam, menggunakan akad jual beli hanya saja penyerahan barang baru kemudian sesuai dengan kesepakatan.



[1] Abubakar Muhammad, Terjemahan Subulussalam III (Surabaya: al-Ikhlas, 1995),126.
[2] Buletin Asy Syariah, edisi no.28/III/1428H/2007, 14.
[3] Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani penr. Amirudin, Fathul Baari jilid 13 (Riyadh: Maktabah Darussalam, 1997), 3.
[4] Abubakar Muhammad, Terjemahan Subulussalam III (Surabaya: al-Ikhlas, 1995), 170.
[5] Ibid. penjelasan ini lihat juga Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani penr. Amirudin, Fathul Baari jilid 13 (Riyadh: Maktabah Darussalam, 1997), 3-4.
[6] Ibid., 171.

No comments: