PERUSAHAAN
ASURANSI
(ASPEK
HUKUM LEMBAGA KEUANGAN NON BANK)
Karya Tulis Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas
pada
Matakuliah “Hukum Ekonomi”
Disusun oleh:
MASDARU KILMY (210208005)
Dosen Pengampu:
Agung Eko Purwana, SE., MSI.
JURUSAN SYARI’AH
PRODI
MU’AMALAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2011
PENDAHULUAN
Perbankan dan perasuransian adalah
produk dari hasil interaksi perekonomian di masyarakat yang kemudian menjadi
suatu permasalahn hukum di Negara kita. Hal ini berkaitan dengan upaya
pengaturan hukumnya melalui regulasi dalam bentuk perundang-undangan daru
Undang-Undang hingga peraturan pelaksanaannya, serta perangkat penegakan
hukumnya dari pengguna kedua lembaga tersebut di masyarakat. Tentunya
diharapkan dan diupayakan sedemikian rupa dari tahap ke tahap agar lebih
mencerminkan penerapan ketentuan-ketentuan hukum secara utuh dalam mekanisme
operasional masing-masing-masing lembaga hingga konsep kontrak yang dibuat oleh
masing-masing pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha dikedua bidang tersebut.
Lapangan kehidupan ekonomi termasuk
didalamnya uasaha perasuransian, digolongkan dalam hukum-hukum yang mengatur
hubungan manusia dengan sesamanya di dalam Islam yang disebut dengan hukum
muamalah, oleh karena itu bersifat terbuka dalam pengembangannya.
Perusahaan asuransi merupakan
lembaga keuangan nonbank yang mempunyai peranan yang tidak jauh berbeda dari
bank, yaitu bergerak dalam bidang layanan jasa yang diberikan kepada masyarakat
dalam mengatasi resiko yang akan terjadi di masa yang akan datang. Dalam
kesempatan kali ini saya akan membahas tentang asuransi yang meliputi; Pengertian
Asuransi, Sejarah dan Perkembangan Asuransi di Indonesia, Pengaturan Asuransi
di Indonesia, serta Analisa Hukum Islam mengenai Asuransi.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Asuransi
Asuransi
(insurance) sering juga diistilahkan dengan “pertanggungan”. Adapun
pengertiannya dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.
Dalam undang-undang tersebut didefinisikan bahwa asuransi atau
pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih; pihak penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk
memberikan pergantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa
yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.[1]
Dalam
dunia usaha, asuransi memegang peranan penting, yaitu memberikan perlindungan
terhadap pengusaha/usahawan dari bahaya-bahaya yang datangnya diluar dugaan
(gempa bumi, kebakaran, pemogokan, kapal tenggelam, pesawat terbang jatuh, dan
lain-lain), di pihak lain perusahaan asuransi bias melangsungkan hidupnya
melalui premi yang diterima dari tertanggung.[2]
Dari
rumusan tersebut dapat dikemukakan bahwa
pada dasarnya asuransi atau pertanggungan merupakan suatu ikhtiar dalam
rangka menanggulangi adanya resiko.
Secara
umum dimaksudkan dengan resiko adalah
setiap kali orang tidak dapat menguasai dengan sempurna, atau mengetahui
lebih dahulu mengenai masa yang akan dating. Dengan bahasa yang lain resiko
adalah:
a. Kemungkinan terjadinya suatu peristiwa
yang tidak diinginkan/diharapkan terjadi.
b. Peristiwa yang dimungkinkan/diharapkan
terjadi, dan keadaan ini lazim dikatakan sebagai kehilangan sebagai penurunan
atau pemusnahan nilai ekonomi.[3]
Akhirnya
resiko tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Kemungkinan kehilangan atau kerugian.
b. Kemungkinan penyimpangan harapan yang
tidak menguntungkan karena kemungkinan penyimpangan harapan merupakan suatu
kehilangan.[4]
Antara
asuransi dan resiko mempunyai keterkaitan yang sangat erat sebab asuransi
adalah menanggulangi resiko. Tanpa adanya resiko, asuransi/pertanggungan tidak
akan ada.[5]
B. Sejarah dan Perkembangan Asuransi di
Indonesia
Bisnis asuransi masuk ke Indonesia
pada waktu penjajahan Belanda dan negara kita pada waktu itu disebut Nederlands
Indie. Keberadaan asuransi di negeri kita ini sebagai akibat berhasilnya Bangsa
Belanda dalam sektor perkebunan dan perdagangan di negeri jajahannya.
Untuk menjamin kelangsungan
usahanya, maka adanya asuransi mutlak diperlukan. Dengan demikian usaha perasuransian
di Indonesia dapat dibagi dalam dua kurun waktu, yakni zaman penjajahan sampai
tahun 1942 dan zaman sesudah Perang Dunia II atau zaman kemerdekaan.
Pada waktu pendudukan bala tentara
Jepang selama kurang lebih tiga setengah tahun, hampir tidak mencatat sejarah
perkembangan. Perusahaan-perusahaan asuransi yang ada di Hindia Belanda pada
zaman penjajahan itu adalah :
1.
Perusahaan-perusahaan yang didirikan
oleh orang Belanda.
2.
Perusahaan-perusahaan yang merupakan
Kantor Cabang dari Perusahaan Asuransi yang berkantor pusat di Belanda, Inggris
dan di negeri lainnya.
Jenis asuransi yang telah
diperkenalkan di Hindia Belanda pada waktu itu masih sangat terbatas dan
sebagian besar terdiri dari asuransi kebakaran dan pengangkutan.
Setelah Perang Dunia usai,
perusahaan-perusahaan Belanda dan Inggris kembali beroperasi di negara yang
sudah merdeka ini. Sampai tahun 1964 pasar industri asuransi di Indonesia masih
dikuasai oleh Perusahaan Asing, terutama Belanda dan Inggris.
Pada awal mulanya beroperasi di
Indonesia mereka mendirikan sebuah badan yang disebut “Bataviasche Verzekerings
Unie” (BVU) pada tahun 1946, yang melakukan kegiatan asuransi secara kolektif.
Dengan demikian dari setiap penutupan, masing-masing anggota BVU memperoleh
share tertentu. Cara ini dilakukan mengingat keadaan pada waktu itu belum
teratur dan tenaga asuransi masih kurang sekali.
Pada tahun 1950 berdiri sebuah
perusahaan asuransi kerugian yang pertama, yakni NV. Maskapai Asuransi
Indonesia yang kemudian pada awal 2004 sudah menjadi PT MAI PARK. Pada saat
itu, sebagai perintis perusahaan asuransi kerugian nasional yang pertama, maka
perusahaan ini harus bersaing dengan perusahaan asuransi asing yang unggul baik
dalam faktor permodalan maupun pengetahuan teknis.
Dengan berdirinya perusahaan
asuransi kerugian nasional tersebut, keberanian pengusaha nasional dipacu untuk
mendirikan perusahaan-perusahaan asuransi kerugian. Keberanian ini didukung
pula oleh Peraturan Pemerintah bahwa semua barang impor hams diasuransikan di
Indonesia. Pengaturan ini dimaksudkan untuk menanggulangi pemakaian devisa
untuk membayar premi asuransi di luar negeri.
Pada tahun 1953 berdiri pula
perusahaan swasta nasional yang bergerak dalam bidang reasuransi Belanda dan
Inggris di Indonesia, pemakaian devisa untuk membayar premi reasuransi ke luar
negeri juga masih tetap besar. Untuk menanggulangi hal ini, didirikanlah pada
tahun 1954 sebuah perusahaan reasuransi profesional, yakni “PT. REASURANSI
.UMUM INDONESIA” yang mendapat dukungan dari bank-bank pemerintah.
Lembaga yang tersebut terakhir ini
mengeluarkan peraturan-peraturan yang mengikat untuk perusahaan-perusahaan
asuransi asing untuk menggunakanjasa perusahaan reasuransi nasional.
Langkah-langkah yang diambil pemerintah dalam hal ini memberikan hasil yang
diharapkan. Kegiatan PT. Reasuransi Umum Indonesia pada tahun 1963 diperluas dengan
kegiatan reasuransi jiwa.
Pada saat PT. Reasuransi Umum
Indonesia didirikan, banyak perusahaan-perusahaan asuransi kerugian nasional
bermunculan, tetapi perkembangannya masih terhambat oleh persaingan yang berat
dari perusahaan-perusahaan asuransi swasta asing.
C. Pengaturan
Asuransi di Indonesia
Menyangkut bentuk dasar hukum
perasuransian di Indonesia diatur dalam ketentuan Undang-undang No. 2 Tahun
1992 dalm Bab IV Pasal 7 yang pada intinya berbunyi:
1.
Usaha perasuransian hanya dapat
dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk:
a. Perusahaan
Perseroan,
b. Koperasi,
c. Perseroan
Terbatas,
d. Usaha
Bersama (Mutual)
2. Dengan
tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), usaha konsultan
aktuaria dan uasaha agen asuransi dapat dilakukan oleh perusahaan perorangan.
3. Ketentuan
tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama (mutual) diatur lebih
lanjut dengan undang-undang.[6]
D. Analisa
Hukum Islam Mengenai Asuransi
Dalam konteks perusahaan asuransi
menurut syari’ah atau asuransi Islam secara umum sebenarnya tidak jauh berbeda
dengan asuransi konvesional. Di antara keduanya, baik asuransi konvesional
maupun asurransi syari’ah mempunyai persamaan yaitu perusahaan asuransi hanya
berfungsi sebagai fasilitator hubungan structural antara peserta penyetor premi
(penanggung) dengan peserta penerima pembayaran klaim (tertanggung). Secara
umum asuransi Islam atau sering di istilahkan dengan takaful dapat digambarkan
sebagai asuransi yang prinsip operasionalnya didasarkan pada syari’at Islam
dengan mengacu kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.[7]
Apabila kita memasukkan asuransi
takaful ke dalam lapangan kehidupan muamalah, maka takaful dalam pengertian
muamalah mengandung arti yaitu saling menanggung resiko di antara sesame
manusia sehingga diantara satu dengan lainnya menjadi penanggung atas resiko
masing-masing. Dengan demikian, gagasan mengenai asuransi takaful berkaitan
dengan unsure saling menanggung resiko diantara para peserta asuransi, dimana
peserta yang satu menjadi penanggung peserta yang lainnya. Tanggung menanggung
resiko tersebut dilakukan atas dasar saling tolong menolong dalam kebaikan
dengan cara masing-masing mengeluarkan dana yang ditujukan untuk menanggung
resiko tersebut. Perusahaan asuransi takaful hanya bertindak sebagai
fasilitator saling menanggung di antara para peserta asuransi. Hal inilah salah
satu yang membedakan antara asuranso takaful dengan asuransi konvesional, di
mana dalam asuransi konvesional terjadi saling menanggung antara perusahaan
asuransi dengan peserta asuransi.[8]
Para ahli hukum Islam tentang hukum
asuransi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Pendapat
pertama, asuransi dengan segala bentuk perwujudannya dipandang haram menurut
ketentuan Hukum Islam.
b. Pendapat
kedua, asuransi dengan segala bentuknya dapat diterima dalam syari’at Islam.
c. Pendapat
ketiga, asuransi social diperbolehkan, sedangkan asuransi yang bersifat
komersial tidak diperbolehkan atau bertentangan dengan syari’at Islam.
d. Pendapat
keempat, asuransi dengan segala jenisnya dipandang syubhat.[9]
KESIMPULAN
1. Asuransi atau pertanggungan adalah
perjanjian antara dua pihak atau lebih; pihak penanggung mengikatkan diri
kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan pergantian
kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan
diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau
untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan.
2. Usaha
perasuransian di Indonesia dapat dibagi dalam dua kurun waktu, yakni zaman
penjajahan sampai tahun 1942 dan zaman sesudah Perang Dunia II atau zaman
kemerdekaan.
3. Bentuk
dasar hukum perasuransian di Indonesia diatur dalam ketentuan Undang-undang No.
2 Tahun 1992 dalm Bab IV Pasal 7.
4. Para
ahli hukum Islam tentang hukum asuransi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
(a) Pendapat pertama, asuransi dengan segala bentuk perwujudannya
dipandang haram menurut ketentuan Hukum Islam. (b). Pendapat kedua, asuransi
dengan segala bentuknya dapat diterima dalam syari’at Islam. (c)
Pendapat ketiga, asuransi social diperbolehkan, sedangkan asuransi yang
bersifat komersial tidak diperbolehkan atau bertentangan dengan syari’at Islam.
(d) Pendapat keempat, asuransi dengan segala jenisnya dipandang syubhat.
DAFTAR PUSTAKA
Dewi,
Gemala. Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia. Jakarta: Kencana, 2004.
Lubis,
Suhrawardi K., Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
Suyatno,
Thomas, dkk., Kelembagaan Perbankan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2003.
[1] Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam (Jakarta: Sinar
Grafika, 2000), 72.
[2] Thomas Suyatno, dkk., Kelembagaan Perbankan (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2003), 89.
[3] Lubis, Hukum Ekonomi, 72.
[4] Ibid., 73.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian
Syariah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004), 121-122.
[8] Ibid., 123.
[9] Lubis, Hukum Ekonomi, 75.
No comments:
Post a Comment