HMI

Sunday, March 18, 2012

PERUSAHAAN ASURANSI (ASPEK HUKUM LEMBAGA KEUANGAN NON BANK)


PERUSAHAAN ASURANSI

(ASPEK HUKUM LEMBAGA KEUANGAN NON BANK)


Karya Tulis Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas pada
 Matakuliah “Hukum Ekonomi




















Disusun oleh:

MASDARU KILMY                           (210208005)


Dosen Pengampu:
Agung Eko Purwana, SE., MSI.

JURUSAN SYARI’AH
PRODI MU’AMALAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2011

PENDAHULUAN

Perbankan dan perasuransian adalah produk dari hasil interaksi perekonomian di masyarakat yang kemudian menjadi suatu permasalahn hukum di Negara kita. Hal ini berkaitan dengan upaya pengaturan hukumnya melalui regulasi dalam bentuk perundang-undangan daru Undang-Undang hingga peraturan pelaksanaannya, serta perangkat penegakan hukumnya dari pengguna kedua lembaga tersebut di masyarakat. Tentunya diharapkan dan diupayakan sedemikian rupa dari tahap ke tahap agar lebih mencerminkan penerapan ketentuan-ketentuan hukum secara utuh dalam mekanisme operasional masing-masing-masing lembaga hingga konsep kontrak yang dibuat oleh masing-masing pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha dikedua bidang tersebut.
Lapangan kehidupan ekonomi termasuk didalamnya uasaha perasuransian, digolongkan dalam hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya di dalam Islam yang disebut dengan hukum muamalah, oleh karena itu bersifat terbuka dalam pengembangannya.
Perusahaan asuransi merupakan lembaga keuangan nonbank yang mempunyai peranan yang tidak jauh berbeda dari bank, yaitu bergerak dalam bidang layanan jasa yang diberikan kepada masyarakat dalam mengatasi resiko yang akan terjadi di masa yang akan datang. Dalam kesempatan kali ini saya akan membahas tentang asuransi yang meliputi; Pengertian Asuransi, Sejarah dan Perkembangan Asuransi di Indonesia, Pengaturan Asuransi di Indonesia, serta Analisa Hukum Islam mengenai Asuransi.





PEMBAHASAN

A.    Pengertian Asuransi
Asuransi (insurance) sering juga diistilahkan dengan “pertanggungan”. Adapun pengertiannya dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang  Usaha Perasuransian. Dalam undang-undang tersebut didefinisikan bahwa asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih; pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan pergantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.[1]
Dalam dunia usaha, asuransi memegang peranan penting, yaitu memberikan perlindungan terhadap pengusaha/usahawan dari bahaya-bahaya yang datangnya diluar dugaan (gempa bumi, kebakaran, pemogokan, kapal tenggelam, pesawat terbang jatuh, dan lain-lain), di pihak lain perusahaan asuransi bias melangsungkan hidupnya melalui premi yang diterima dari tertanggung.[2]
Dari rumusan tersebut dapat dikemukakan bahwa  pada dasarnya asuransi atau pertanggungan merupakan suatu ikhtiar dalam rangka menanggulangi adanya resiko.
Secara umum dimaksudkan dengan resiko adalah  setiap kali orang tidak dapat menguasai dengan sempurna, atau mengetahui lebih dahulu mengenai masa yang akan dating. Dengan bahasa yang lain resiko adalah:
a.       Kemungkinan terjadinya suatu peristiwa yang tidak diinginkan/diharapkan terjadi.
b.      Peristiwa yang dimungkinkan/diharapkan terjadi, dan keadaan ini lazim dikatakan sebagai kehilangan sebagai penurunan atau pemusnahan nilai ekonomi.[3]
Akhirnya resiko tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
a.       Kemungkinan kehilangan atau kerugian.
b.      Kemungkinan penyimpangan harapan yang tidak menguntungkan karena kemungkinan penyimpangan harapan merupakan suatu kehilangan.[4]
Antara asuransi dan resiko mempunyai keterkaitan yang sangat erat sebab asuransi adalah menanggulangi resiko. Tanpa adanya resiko, asuransi/pertanggungan tidak akan ada.[5]
B.     Sejarah dan Perkembangan Asuransi di Indonesia
Bisnis asuransi masuk ke Indonesia pada waktu penjajahan Belanda dan negara kita pada waktu itu disebut Nederlands Indie. Keberadaan asuransi di negeri kita ini sebagai akibat berhasilnya Bangsa Belanda dalam sektor perkebunan dan perdagangan di negeri jajahannya.
Untuk menjamin kelangsungan usahanya, maka adanya asuransi mutlak diperlukan. Dengan demikian usaha perasuransian di Indonesia dapat dibagi dalam dua kurun waktu, yakni zaman penjajahan sampai tahun 1942 dan zaman sesudah Perang Dunia II atau zaman kemerdekaan.
Pada waktu pendudukan bala tentara Jepang selama kurang lebih tiga setengah tahun, hampir tidak mencatat sejarah perkembangan. Perusahaan-perusahaan asuransi yang ada di Hindia Belanda pada zaman penjajahan itu adalah :
1.        Perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh orang Belanda.
2.        Perusahaan-perusahaan yang merupakan Kantor Cabang dari Perusahaan Asuransi yang berkantor pusat di Belanda, Inggris dan di negeri lainnya.
Jenis asuransi yang telah diperkenalkan di Hindia Belanda pada waktu itu masih sangat terbatas dan sebagian besar terdiri dari asuransi kebakaran dan pengangkutan.
Setelah Perang Dunia usai, perusahaan-perusahaan Belanda dan Inggris kembali beroperasi di negara yang sudah merdeka ini. Sampai tahun 1964 pasar industri asuransi di Indonesia masih dikuasai oleh Perusahaan Asing, terutama Belanda dan Inggris.
Pada awal mulanya beroperasi di Indonesia mereka mendirikan sebuah badan yang disebut “Bataviasche Verzekerings Unie” (BVU) pada tahun 1946, yang melakukan kegiatan asuransi secara kolektif. Dengan demikian dari setiap penutupan, masing-masing anggota BVU memperoleh share tertentu. Cara ini dilakukan mengingat keadaan pada waktu itu belum teratur dan tenaga asuransi masih kurang sekali.
Pada tahun 1950 berdiri sebuah perusahaan asuransi kerugian yang pertama, yakni NV. Maskapai Asuransi Indonesia yang kemudian pada awal 2004 sudah menjadi PT MAI PARK. Pada saat itu, sebagai perintis perusahaan asuransi kerugian nasional yang pertama, maka perusahaan ini harus bersaing dengan perusahaan asuransi asing yang unggul baik dalam faktor permodalan maupun pengetahuan teknis.
Dengan berdirinya perusahaan asuransi kerugian nasional tersebut, keberanian pengusaha nasional dipacu untuk mendirikan perusahaan-perusahaan asuransi kerugian. Keberanian ini didukung pula oleh Peraturan Pemerintah bahwa semua barang impor hams diasuransikan di Indonesia. Pengaturan ini dimaksudkan untuk menanggulangi pemakaian devisa untuk membayar premi asuransi di luar negeri.
Pada tahun 1953 berdiri pula perusahaan swasta nasional yang bergerak dalam bidang reasuransi Belanda dan Inggris di Indonesia, pemakaian devisa untuk membayar premi reasuransi ke luar negeri juga masih tetap besar. Untuk menanggulangi hal ini, didirikanlah pada tahun 1954 sebuah perusahaan reasuransi profesional, yakni “PT. REASURANSI .UMUM INDONESIA” yang mendapat dukungan dari bank-bank pemerintah.
Lembaga yang tersebut terakhir ini mengeluarkan peraturan-peraturan yang mengikat untuk perusahaan-perusahaan asuransi asing untuk menggunakanjasa perusahaan reasuransi nasional. Langkah-langkah yang diambil pemerintah dalam hal ini memberikan hasil yang diharapkan. Kegiatan PT. Reasuransi Umum Indonesia pada tahun 1963 diperluas dengan kegiatan reasuransi jiwa.
Pada saat PT. Reasuransi Umum Indonesia didirikan, banyak perusahaan-perusahaan asuransi kerugian nasional bermunculan, tetapi perkembangannya masih terhambat oleh persaingan yang berat dari perusahaan-perusahaan asuransi swasta asing.
C.    Pengaturan Asuransi di Indonesia
Menyangkut bentuk dasar hukum perasuransian di Indonesia diatur dalam ketentuan Undang-undang No. 2 Tahun 1992 dalm Bab IV Pasal 7 yang pada intinya berbunyi:
1.        Usaha perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk:
a.       Perusahaan Perseroan,
b.      Koperasi,
c.       Perseroan Terbatas,
d.      Usaha Bersama (Mutual)
2.      Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), usaha konsultan aktuaria dan uasaha agen asuransi dapat dilakukan oleh perusahaan perorangan.
3.      Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama (mutual) diatur lebih lanjut dengan undang-undang.[6]
D.    Analisa Hukum Islam Mengenai Asuransi
Dalam konteks perusahaan asuransi menurut syari’ah atau asuransi Islam secara umum sebenarnya tidak jauh berbeda dengan asuransi konvesional. Di antara keduanya, baik asuransi konvesional maupun asurransi syari’ah mempunyai persamaan yaitu perusahaan asuransi hanya berfungsi sebagai fasilitator hubungan structural antara peserta penyetor premi (penanggung) dengan peserta penerima pembayaran klaim (tertanggung). Secara umum asuransi Islam atau sering di istilahkan dengan takaful dapat digambarkan sebagai asuransi yang prinsip operasionalnya didasarkan pada syari’at Islam dengan mengacu kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.[7]
Apabila kita memasukkan asuransi takaful ke dalam lapangan kehidupan muamalah, maka takaful dalam pengertian muamalah mengandung arti yaitu saling menanggung resiko di antara sesame manusia sehingga diantara satu dengan lainnya menjadi penanggung atas resiko masing-masing. Dengan demikian, gagasan mengenai asuransi takaful berkaitan dengan unsure saling menanggung resiko diantara para peserta asuransi, dimana peserta yang satu menjadi penanggung peserta yang lainnya. Tanggung menanggung resiko tersebut dilakukan atas dasar saling tolong menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana yang ditujukan untuk menanggung resiko tersebut. Perusahaan asuransi takaful hanya bertindak sebagai fasilitator saling menanggung di antara para peserta asuransi. Hal inilah salah satu yang membedakan antara asuranso takaful dengan asuransi konvesional, di mana dalam asuransi konvesional terjadi saling menanggung antara perusahaan asuransi dengan peserta asuransi.[8]
Para ahli hukum Islam tentang hukum asuransi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.       Pendapat pertama, asuransi dengan segala bentuk perwujudannya dipandang haram menurut ketentuan Hukum Islam.
b.      Pendapat kedua, asuransi dengan segala bentuknya dapat diterima dalam syari’at Islam.
c.       Pendapat ketiga, asuransi social diperbolehkan, sedangkan asuransi yang bersifat komersial tidak diperbolehkan atau bertentangan dengan syari’at Islam.
d.      Pendapat keempat, asuransi dengan segala jenisnya dipandang syubhat.[9]



KESIMPULAN

1.    Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih; pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan pergantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
2.    Usaha perasuransian di Indonesia dapat dibagi dalam dua kurun waktu, yakni zaman penjajahan sampai tahun 1942 dan zaman sesudah Perang Dunia II atau zaman kemerdekaan.
3.    Bentuk dasar hukum perasuransian di Indonesia diatur dalam ketentuan Undang-undang No. 2 Tahun 1992 dalm Bab IV Pasal 7.
4.    Para ahli hukum Islam tentang hukum asuransi dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (a) Pendapat pertama, asuransi dengan segala bentuk perwujudannya dipandang haram menurut ketentuan Hukum Islam. (b). Pendapat kedua, asuransi dengan segala bentuknya dapat diterima dalam syari’at Islam. (c) Pendapat ketiga, asuransi social diperbolehkan, sedangkan asuransi yang bersifat komersial tidak diperbolehkan atau bertentangan dengan syari’at Islam. (d) Pendapat keempat, asuransi dengan segala jenisnya dipandang syubhat.



DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Gemala. Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2004.
Lubis, Suhrawardi K., Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
Suyatno, Thomas, dkk., Kelembagaan Perbankan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.


[1] Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), 72.
[2] Thomas Suyatno, dkk., Kelembagaan Perbankan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), 89.
[3] Lubis, Hukum Ekonomi, 72.
[4] Ibid., 73.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004), 121-122.
[8] Ibid., 123.
[9] Lubis, Hukum Ekonomi, 75.

No comments: